BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Geomorfologi adalah sebuah studi ilmiah
terhadap permukaan Bumi dan proses yang terjadi terhadapnya.
Secara luas, berhubungan dengan landform
(bentuk lahan) tererosi dari batuan yang keras, namun bentuk konstruksinya dibentuk
oleh runtuhan batuan, dan terkadang oleh perilaku organisme di tempat mereka
hidup.
Selama sejarah perkembangan
Geografi, dikenal dua objek kajian utama, yaitu: Geografi Fisik, yang
mendasarkan pada objek bentang alami (natural landscape) dengan penekanan pada
bentuklahan (landform), dan Geografi Sosial, yang mendasarkan kepada objek bentang
budaya (cultural landscape).
Bentuk lahan
merupakan bentuk pada permukaan bumi sebagai hasil perubahan bentuk permukaan
bumi oleh proses – proses gemorfologi yang beroperasi dipermukaan bumi . semua
perubahan fisik maupun kimia pada permukaan bumi oleh tenaga – tenaga
geomorfologi . Semua tenaga yang ditimbulkan oleh medium alam yang berada
dipermukaan bumi termasuk di atmosfer . Proses merupakan perubahan bentuk lahan
dalam waktu relatif pendek akibat adanya gaya eksogen serta waktu perkembangan
relatif pendek. Bentuk lahan atau Landform
adalah bentukan alam di permukaan
bumi khususnya di daratan yang terjadi karena proses pembentukan tertentu dan
melalui serangkaian evolusi tertentu pula (Marsoedi, 1996). Sukmantalya (1995),
menjelaskan bahwa bentuk lahan merupakan suatu kenampakan medan yang terbentuk
oleh proses alami, memiliki komposisi tertentu dan karakteristik fisikal dan
visual dengan julat tertentu yang terjadi dimanapun bentuk lahan tersebut
terdapat. Lebih lanjut Gunadi (1991) mengemukakan bahwa berkaitan dengan data
bentuk-lahan, tanah, hidrologi, dan sebagainya, dapat merumuskan
alternatif-Alternatif dan strategi pengembangan guna perencanaan penggunaan
lahan. Sedangkan (Way 1973 dalam Zuidam, 1979), bahwa bentuk lahan adalah
kenampakan medan yang dibentuk oleh proses-proses alami yang mempunyai susunan
tertentu dan julat karakteristik fisik dan visual di mana bentuk lahan itu
terbentuk.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian bentuk lahan ?
2. Apa
saja jenis bentuk lahan (landform) ?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dalam penulisan ini adalah :
1. Agar
mahasiswa dapat mengetahui pengertian bentuk lahan.
2. Agar
mahasiswa dapat mengetahui jenis-jenis bentuk lahan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Selama sejarah perkembangan Geografi, dikenal dua objek
kajian utama, yaitu: Geografi Fisik, yang mendasarkan pada objek bentang alami
(natural landscape) dengan penekanan pada bentuklahan (landform), dan Geografi
Sosial, yang mendasarkan kepada objek bentang budaya (cultural landscape).
Dalam Geografi, dikaji fenomena geosfer melalui 3 (tiga) pendekatan, yaitu: (a)
pendekatan keruangan, (b) ekologi, dan (c) kompleks wilayah. Fenomena geosfer
merupakan hasil dari interaksi faktor alam dan faktor manusia. Kenampakan
fenomena geosfer pada hakikatnya ada 3 (tiga) paham utama, yaitu: (a)
deterministik (faktor alam mempengaruhi kondisi manusia), (b) posibilistik
(faktor manusia mempengaruhi alam), dan (c) probabilistik (faktor alam dan
manusia sama-sama memberikan kemungkinan terbentuknya fenomena geosfer).
A. Konsep
Dasar Geomorfologi
Konsep dasar yang diuraikan dalam sub bab ini bersumber dari
tulisan Thornbury (1954) yang akan disertai beberapa contoh kejadian atau
fenomena yang terdapat di Indonesia. Konsep dasar ini dapat memberikan petunjuk
pada kita tentang faktor-faktor pendukung dalam menginterpretasi bentanglahan.
Konsep dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Proses-proses fisikal yang sama dan
hukum-hukumnya yang bekerja sama sekarang, telah bekerja sepanjang masa
geologi, meskipun dengan intensitas yang tidak sama dengan saat sekarang.
Contoh : pembentukan topografi karst di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dicirikan oleh sungai bawah tanah, dan proses pembentukan stalakmit dan stalaktit, yang masih aktif aktif hingga sekarang.
Contoh : pembentukan topografi karst di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dicirikan oleh sungai bawah tanah, dan proses pembentukan stalakmit dan stalaktit, yang masih aktif aktif hingga sekarang.
2. Struktur geologi merupakan faktor
kontrol dominan terhadap bentuk evolusi bentuk lahan dan tercermin pada bentuk
lahannya.
Contoh : gawir sesar di pegunungan Batur Agung DIY dan Jawa Tengah yang tersusun oleh breksi vulkanik dan batu gamping menunjukan bentuk lahan yang tegas. Jenis batuan tersebut mungkin akan resisten terhadap suatu proses yang lain, akan tetapi di bawah pengaruh kondisi iklim yang berbeda-beda akan memberikan perbedaan tingkat resistensinya. Batu gamping pada daerah iklim tropis basah akan membentuk topografi karst, sedangkan pada daerah kering batu gamping resisten seperti batu pasir.
Contoh : gawir sesar di pegunungan Batur Agung DIY dan Jawa Tengah yang tersusun oleh breksi vulkanik dan batu gamping menunjukan bentuk lahan yang tegas. Jenis batuan tersebut mungkin akan resisten terhadap suatu proses yang lain, akan tetapi di bawah pengaruh kondisi iklim yang berbeda-beda akan memberikan perbedaan tingkat resistensinya. Batu gamping pada daerah iklim tropis basah akan membentuk topografi karst, sedangkan pada daerah kering batu gamping resisten seperti batu pasir.
3. Pada batas-batas tertentu permukaan
bumi memiliki relief (timbulan), karena kerja proses geomorfik mempunyai
kecepatan yang berbeda-beda.
Contoh : daerah yang mempunyai struktur dan litologi yang sama, daerah tersebut akan menunjukan perbedaan relief yang nyata.
Contoh : daerah yang mempunyai struktur dan litologi yang sama, daerah tersebut akan menunjukan perbedaan relief yang nyata.
4. Proses-proses geomorfik itu akan
meninggalkan bekas yang nyata pada bentuklahan dan setiap proses geomorfik
berkembang sesuai dengan karakteristik bentuklahan itu sendiri.
Contoh
: di daerah Adipala, Cilacap, Jawa Tengah, terdapat danau tapal kuda (oxbow
lake) dari Sungai Serayu Lama, yang kemudian di sekitarnya diketemukan
bentuklahan asosiasinya.
5. Oleh karena tenaga erosional yang
bekerja dipermukaan bumi itu berbeda-beda maka akan terjadi suatu tingkatan
perkembangan dari bentuklahan.
Contoh : konsep ini dapat menunjukan tingkat erosi, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk klasifikasi bentuklahan suatu daerah
Contoh : konsep ini dapat menunjukan tingkat erosi, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk klasifikasi bentuklahan suatu daerah
6. Evolusi geomorfik yang kompleks itu
lebih umum terjadi dibandingkan yang terjadi secara sederhana.
Contoh
: banyak kenampakan bentuklahan individual yang terbentuk oleh beberapa proses
geomorfologi, dan sangat jarang ditemukan bentuklahan yang dicirikan oleh suatu
proses geomorfik saja, meskipun kita dapat menunjukan suatu proses yang
dominan..
7. Topografi muka bumi kebanyakan tidak
lebih tua daripada kala pleistosen dan sedikit saja yang lebih tua dari pada
zaman tertier.
Contoh : Pegunungan Himalaya kemungkinan terlipat pertama kali pada kala kreataseous, kemudian pada kala erosen dan miosen. Kenampakan topografi dari Pegunungan Himalaya yang sekarang terbentuk pada kala pliosen dan topografinya yang lebih detil terbentuk pada kala pleistosen atau lebih muda.
Contoh : Pegunungan Himalaya kemungkinan terlipat pertama kali pada kala kreataseous, kemudian pada kala erosen dan miosen. Kenampakan topografi dari Pegunungan Himalaya yang sekarang terbentuk pada kala pliosen dan topografinya yang lebih detil terbentuk pada kala pleistosen atau lebih muda.
8. Interpretasi yang tepat terhadap
bentanglahan masa kini tidak dimungkinkan tanpa penilaian yang mendalam tentang
pengaruh perubahan geologi dan klimatologis yang berulang kali terjadi pada
masa pleistosen.
9. Pengetahuan tentang iklim dunia
perlu untuk memahami arti penting keanekaragaman proses geomorfik.
10. Geomorfologi meskipun lebih
menekankan pada bentanglahan saat sekarang, akan memperoleh manfaat yang
maksimum apabila disertai dengan pendekatan historis.
B.
Pengertian Bentuk Lahan
Menurut Strahler (1983), bentuklahan
adalah konfigurasi permukaan lahan yang dihasilkan oleh proses alam. Lebih
lanjut Whitton (1984) menyatakan bahwa bentuklahan merupakan morfologi dan
karakteristik permukaan lahan sebagai hasil interaksi antara proses fisik dan
gerakan kerak dengan geologi lapisan permukaan bumi. Berdasarkan kedua definisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa bentuklahan merupakan bentang permukaan lahan
yang mempunyai relief khas karena pengaruh kuat dari struktur kulit bumi dan
akibat dari proses alam yang bekerja pada batuan di dalam ruang dan waktu
tertentu. Masing-masing bentuklahan dicirikan oleh adanya perbedaan dalam hal
struktur dan proses geomorfologi, relief/topografi dan material penyusun
(litologi).
Struktur geomorfologi memberikan
informasi tentang asal-usul (genesa) dari bentuklahan. Proses geomorfologi
dicerminkan oleh tingkat pentorehan atau pengikisan, sedangkan relief
ditentukan oleh perbedaan titik tertinggi dengan titik terendah dan kemiringan
lereng. Relief atau kesan topografi memberikan informasi tentang konfigurasi
permukaan bentuklahan yang ditentukan oleh keadaan morfometriknya. Litologi
memberikan informasi jenis dan karakteristik batuan serta mineral penyusunnya,
yang akan mempengaruhi pembentukan bentuklahan.
|
Dengan
keterangan :
T : topografi
P : proses alam
S : struktur geologi
M : material batuan
K : ruang dan waktu kronologis
P : proses alam
S : struktur geologi
M : material batuan
K : ruang dan waktu kronologis
Bentuk
lahan dikaji secara kuantitatif maupun kualitatif (morfometri) dimana tujuannya
mendiskripsikan relief bumi. Bentuk lahan konstruksional misalnya gunung api,
patahan, lipatan, dataran, plato, dome dan pegunungan kompleks. Sedangkan
bentuk lahan distruksional meliputi bentuk lahan erosional, residual dan
deposisional. Cabang yang mengkaji tentang bentuk lahan disebut Geomorfologi
Statis.
Oleh karena untuk menganalisis bentanglahan lebih sesuai
dengan didasarkan pada bentuklahan, maka klasifikasi bentanglahan juga akan
lebih sesuai jika didasarkan pada unit-unit bentuklahan penyusunnya. Verstappen
(1983) telah mengklasifikasikan bentuklahan berdasarkan genesisnya menjadi 10
(sepuluh) macam bentuklahan asal proses, yaitu:
1.
Bentuklahan
asal proses vulkanik (V), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang
terjadi akibat aktivitas gunung api. Contoh bentuklahan ini antara lain:
kerucut gunungapi, madan lava, kawah, dan kaldera.
2.
Bentuklahan
asal proses struktural (S), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang
terjadi akibat pengaruh kuat struktur geologis. Pegunungan lipatan, pegunungan
patahan, perbukitan, dan kubah, merupakan contoh-contoh untuk bentuklahan asal
struktural.
3.
Bentuklahan
asal fluvial (F), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi
akibat aktivitas sungai. Dataran banjir, rawa belakang, teras sungai, dan
tanggul alam merupakan contoh-contoh satuan bentuklahan ini.
4.
Bentuklahan
asal proses solusional (S), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang
terjadi akibat proses pelarutan pada batuan yang mudah larut, seperti batu
gamping dan dolomite, karst menara, karst kerucut, doline, uvala, polye, goa
karst, dan logva, merupakan contoh-contoh bentuklahan ini.
5.
Bentuklahan
asal proses denudasional (D), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang
terjadi akibat proses degradasi seperti longsor dan erosi. Contoh satuan
bentuklahan ini antara lain: bukit sisa, lembah sungai, peneplain, dan lahan
rusak.
6.
Bentuklahan
asal proses eolin (E), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi
akibat proses angin. Contoh satuan bentuklahan ini antara lain: gumuk pasir
barchan, parallel, parabolik, bintang, lidah, dan transversal.
7.
Bentuklahan
asal proses marine (M), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang
terjadi akibat proses laut oleh tenaga gelombang, arus, dan pasang-surut.
Contoh satuan bentuklahan ini adalah: gisik pantai (beach), bura (spit),
tombolo, laguna, dan beting gisik (beach ridge). Karena kebanyakan sungai dapat
dikatakan bermuara ke laut, maka seringkali terjadi bentuklahan yang terjadi
akibat kombinasi proses fluvial dan proses marine. Kombinasi ini disebut proses
fluvio-marine. Contoh-contoh satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses
fluvio marine ini antara lain delta dan estuari.
8.
Bentuklahan
asal glasial (G), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi
akibat proses gerakan es (gletser). Contoh satuan bentuklahan ini antara lain
lembah menggantung dan morine.
9.
Bentuklahan
asal organik (O), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi
akibat pengaruh kuat aktivitas organisme (flora dan fauna). Contoh satuan
bentuklahan ini adalah mangrove dan terumbu karang.
10.
Bentuklahan
asal antropogenik (A), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi
akibat aktivitas manusia. Waduk, kota, dan pelabuhan, merupakan contoh-contoh
satuan bentuklahan hasil proses antropogenik.

Proses
terbentuknya bentanglahan, baik bentang lahan alami maupun bentang budaya,
dapat diterangkan berdasar 3 komponen, yaitu: (a) komponen lingkungan alam, (b)
lingkungan sosial, dan (c) ideologi. 2 (dua) komponen utama dapat diamati oleh
panca indera, sehingga dapat memunculkan suatu kenampakan, sedangkan komponen
ideologi lebih berkaitan dengan akal dan hati yang tidak terlihat secara kasat
mata.
Masing-masing
komponen memiliki sub komponen. Sebagai contoh pada komponen lingkungan alami terdapat
sub komponen: relief, batuan, air, dan iklim yang saling berinteraksi.
Interaksi ini disebut dengan interaksi horisontal, yang akan menciptakan
kenampakan bentang tersendiri. Selain itu juga terdapat interaksi vertikal,
yaitu interaksi yang terjadi antara komponen yang saling mempengaruhi, misalnya
antara lingkungan alam dan lingkungan sosial. Tiga komponen tersebut
berhubungan satu dengan yang lainnya dan tidak dapat dipisahkan.
C.
Bentuk Lahan Berdasarkan Proses
Pembentukannya
Hasil pengerjaan
dan proses utama pada lapisan utama kerak bumi akan meninggalkan kenampakan
bentuk lahan tertentu disetiap roman muka bumi ini. Kedua proses ini adalah
proses endogen (berasal dari dalam) dan proses eksogen (berasal dari luar).
Perbedaan intensitas, kecepatan jenis dan lamanya salah satu atau kedua proses
tersebut yang bekerja pada suatu daerah menyebabkan kenampakan bentuk lahan disuatu daerah
dengan daerah lain umumnya berbeda.

Dilihat dari
genesisnya (kontrol utama pembentuknya ), bentuk lahan dapat dibedakan menjadi
:
•
Bentuk asal struktural
•
Bentuk asal vulkanik
•
Bentuk asal fluvial
•
Bentuk
asal marine
•
Bntuk
asal pelarutan karst/solusional
•
Bentuk
asal aeolin
•
Bentuk asal denudasional
•
Bentuk asal glasial
•
Bentuk asal organik
•
Bentuk asal antropogenik
1.
Bentuk
Lahan Struktural


Bentuk lahan struktural terbentuk karena adanya
proses endogen atau proses tektonik, yang berupa pengangkatan, perlipatan, dan
pensesaran. Gaya (tektonik) ini bersifat konstruktif (membangun), dan pada
awalnya hampir semua bentuk lahan muka bumi ini dibentuk oleh control
struktural. Pada awalnya
struktural antiklin akan memberikan kenampakan cekung, dan struktural horizontal nampak datar. Umumnya, suatu
bentuk lahan struktural
masih dapat dikenali, jika penyebaran struktural geologinya dapat dicerminkan dari
penyebaran reliefnya.
Bentuk lahan asal struktural, merupakan bentuk lahan
yang terjadi akibat pengaruh struktur geologis, contohnya adalah pegunungan
lipatan, pegunungan
patahan, perbukitan kubah dan sebagainya.
Dalam berbagai hal bentuklahan
struktural berhubungan dengan perlapisan batuan sedimen yang berbeda
ketahanannya terhadap erosi. Bentuklahan lahan struktural pada dasarnya
dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yaitu struktur patahan dan lipatan.
Kadang-kadang pola aliran mempunyai nilai untuk struktur geologis yang dapat
dilihat dari citra.
Plateau struktural terbentuk pada
suatu daerah yang berbatuan berlapis horisontal, sedang cuesta dan pegunungan
monoklinal terdapat dip geologis yang nyata. Batuan berlapis yang terlipat
selalu tercermin secara baik pada bentuklahannya. Skistositas akan berpengaruh
pada bentuklahan pada daerah dengan batuan metamorfik, lebih lanjut patahan dan
retakan mempunyai pengaruh juga pada perkembangan landform. Dalam beberapa
kasus, bentuk-bentuk struktural dipengaruhi oleh proses-proses eksogenitas dari
berbagai tipe, sehingga terbentuklah satuan struktural-denudasional.
Struktur-struktur geologi seperti
lipatan, patahan, perlapisan, kekar maupun lineaman (kelurusan) yang dapat
diinterpretasi dari foto udara dan peta geologi merupakan bukti kunci satuan
struktural. Pola aliran sungai yang ada akan mengikuti pola struktur utama,
dengan anak-anak sungai akan relatif sejajar dan tegak lurus dengan sungai
induk. Beberapa fenomena bentukan struktural antara lain : flatiron, hogbacks,
cuesta, pegunungan lipatan, dome/kubah, pegunungan patahan dan pegunungan
kompleks.
Flatiron (Sfi) merupakan
morfologi pegunungan / perbukitan dan dibentuk oleh lapisan dengan kemiringan
relatif tegak, ujung atasnya meruncing dan bentuk seperti seterika. Hogbacks
(Shb) berbentuk punggungan lebar yang miring ke arah lapisan dan gawir yang
terjal miring ke arah berlawanan dengan arah kemiringan lapisan, besar sudut
> 30° (dip). Jika kemiringan punggungan melandai sesuai dengan dip lapisan
sebesar ± 15° disebut cuesta (Scu). Dome atau pegunungan kubah (Spk) merupakan
struktur lipatan pendek regional, dengan sudut kemiringan kecil melingkar ke
segala arah (radier) membentuk bulat atau oval. Antiklinal pendek yang menunjam
ke kiri-kanannya cenderung membentuk kubah dengan ukuran bervariasi. Pola
aliran umumnya melingkar (annular). Pegunungan lipatan (Spl) mempunyai
morfologi yang spesifik dengan adanya punggungan antiklinal memanjang dan lembah
sinklinal yang harmonis, dimana topografinya mengikuti lengkungan lipatan. Pola
aliran sungai akan mengikuti struktur utama (konsekwen longitudinal), kemudian
disusul anak-anak sungai yang menuruni lereng punggungan tegak lurus sungai
utama yang disebut subsekwen, yang akhirnya membentuk pola trellis. Pegunungan
patahan (Spp) merupakan struktur patahan yang umumnya dibatasi oleh adanya
gawir sesar (bidang patahan) yang terjal, kelurusan dan pola aliran yang
menyudut-patah (regtangular). Asosiasi antara struktur lipatan dengan patahan
umumnya lebih terjadi membentuk struktur pegunungan kompleks (Spk) dengan
konfigurasi permukaan yang unik dan tidak teratur.
Kenampakan pada
foto udara untuk masing-masing struktur akan terlihat jelas dan spesifik,
dengan didukung oleh fenomena tertentu seperti gawir patahan yang lurus dan
terjal, kelurusan vegetasi atau igir/punggungan, pola aliran yang saling tegak
lurus dengan anak-anak sungai yang relatif sejajar kemudian menyebar keluar,
topografi kasar, pola tidak teratur, vegetasi jarang dan penggunaan lahan untuk
lahan tegalan atau hutan reboisasi/konservasi.
2.
Bentuk
Lahan Vulkanik

Bentuklahan
vulkanik secara sederhana dibagi menjadi 2, yaitu bentuk-bentuk eksplosif
(krater letusan, ash dan cinder cone) dan bentuk-bentuk effusif (aliran
lava/lidah lava, bocca, plateau lava, aliran lahar dan lainnya) yang membentuk
bentangan tertentu dengan distribusi di sekitar kepundan, lereng bahkan kadang
sampai kaki lereng. Struktur vulkanik yang besar biasanya ditandai oleh erupsi
yang eksplosif dan effusif, yang dalam hal ini terbentuk volkanostrato.


Proses
erosi vertikal yang kuat pada bagian hulu akibat aliran lava/lahar dan curah
hujan yang tinggi membentuk lembah-lembah sungai yang curam dan rapat serta
dibatasi oleh igir-igir yang runcing dengan pola mengikuti aliran
sungai-sungainya. Proses erosi dan denudasional yang bekerjasama menyebabkan
terbentuknya relief yang kasar dan topografi yang tinggi dengan kemiringan
lereng yang curam pada bagian lereng atas, kemudian terdapat tekuk lereng (break
of slope) yang mencirikan munculnya mataair membentuk sabuk mata air (spring
belt).

Pola aliran sungai terbentuk akibat proses geomorfologi yang bekerja
pada batuan di permukaan, sehingga terbentuk pola yang relatif annular
sentrifugal dengan anak-anak sungai utama relatif sejajar, kemudian bertemu
pada tekuk lereng pertama. Beberapa sungai bertemu kembali pada tekuk lereng
kedua, dan seterusnya. Kerapatan aliran umumnya tinggi pada lereng atas dan
tengah, yang semakin menurun kerapatannya ke arah lereng bawah dan kaki lereng.
Pola-pola
kelurusan yang ada umumnya berupa igir-igir curam di kanan-kiri sungai, pola
kelurusan kontur yang melingkar serta break of slope yang berasosiasi dengan
spring belt. Vegetasi umumnya rapat berupa hutan lindung di bagian atas, hutan
penyangga di tengah dan akhirnya menjadi lahan budidaya pertanian di bagian
kaki lereng sampai dataran fluvialnya. Permukiman dapat dijumpai mulai pada
lereng tengah dengan kerapatan jarang ke arah bawah yang mempunyai kerapatan
semakin padat.
Kenampakan dari foto udara, tekstur umumnya kasar tetapi
seragam pada ketinggian atau klas lereng sama, semakin ke bawah semakin halus;
rona agak gelap sampai gelap; pola agak teraturdan umumnya kenampakan fisik
mempunyai pola yang kontinyu. Kenampakan yang khas adalah bahwa pada pusat
kepundan akan terlihat suatu kerucut yang di sekitarnya terdapat hamparan hasil
erupsi tanpa vegetasi penutup sedikitpun. Bekas-bekas aliran lava cair akan
tampak berupa garis-garis aliran di sekitar kepundan dan berhenti membentuk
blok-blok dinding terjal akibat pembekuan di luar.
3.
Bentuk Lahan Fluvial
Suatu
bentukan yang berhubungan dengan daerah - daerah penimbunan (sedimentasi)
seperti di sekitar lembah-lembah sungai besar dan dataran aluvial. Bentukan asal fluvial berkaitan erat
dengan aktifitas sungai dan air permukaan yang berupa pengikisan, pengangkutan,
dan jenis buangan pada daerah dataran rendah seperi lembah, ledok, dan dataran
alluvial. Proses
penimbunan bersifat meratakan pada daerah-daerah ledok, sehingga umumnya bentuk
lahan asal fluvial mempunyai relief yang rata atau datar. Material penyusun satuan
betuk lahan fluvial berupa hasil rombakan dan daerah perbukitan denudasional
disekitarnya, berukuran halus sampai kasar, yang lazim disebut sebagai
alluvial. Karena umumnya reliefnya datar dan litologi alluvial, maka kenampakan
suatu bentuk lahan fluvial lebih ditekankan pada genesis yang berkaitan dengan
kegiatan utama sungai yakni erosi, pengangkutan, dan penimbunan.

Bentukan asal fluvial antara lain : dataran banjir, dataran
alluvial, kipas alluvial, sungai berkelok – kelok (Meandering), gosong sungai,
sungai teranyam, dsb. Proses fluvial ini bersifat merusak dan membangun. Proses
yang merusak ini meliputi pelapukan, erosi dan denudasi hingga transportasi dan
mengakibatkan terbentuknya bentuk lahan yang berupa lembah – lembah sungai.
Proses yang brsifat konstruktif meliputi proses transportasi hingga sedimentasi
dan membangun bentuk – bentuk positif hasil sedimentasi. Pada akhir proses
tersebut akan membentuk suatu dataran.
Bentuklahan asal proses fluvial
terbentuk akibat aktivitas aliran sungai yang berupa pengikisan, pengangkutan
dan pengendapan (sedimentasi) membentuk bentukan-bentukan deposisional yang
berupa bentangan dataran aluvial (Fda) dan bentukan lain dengan struktur
horisontal, tersusun oleh material sedimen berbutir halus. Bentukan-bentukan
ini terutama berhubungan dengan daerah-daerah penimbunan seperti lembah-lembah
sungai besar dan dataran aluvial. Bentukan-bentukan kecil yang mungkin terjadi
antara lain dataran banjir (Fdb), tanggul alam (Fta), teras sungai (Fts),
dataran berawa (Fbs), gosong sungai (Fgs) dan kipas aluvial (Fka). Asosiasi
antara proses fluvial dengan marin kadang membentuk delta (Fdt) di muara sungai
yang relatif tenang. Beberapa hal proses-proses fluvial seperti pengikisan
vertikal maupun lateral dan berbagai macam bentuk sedimentasi sangat jelas
dapat dilihat pada citra atau foto udara.

Sungai-sungai yang terdapat pada
satuan ini umumnya dikelompokkan dalam stadia dewasa, yaitu sungai yang telah
mengalami gradasi dan berada dalam keadaan seimbang sehingga energinya hanya
cukup untuk membawa dan memindahkan bebannya saja. Erosi dan pengendapan
seimbang yang membentuk hamparan dataran yang luas ke arah pantai.
Sungai peringkat dewasa membentuk
dataran banjir dengan pengendapan sebagian bebannya. Pengendapan ini yang
membentuk dataran banjir di kanan-kiri sungai yang disebabkan karena air sungai
semasa banjir melimpah tebing dan tidak lagi tersalurkan karena terhambat dan
dangkal. Jika pengendapan beban bertumpuk dan terakumulasi di kanan kiri sungai
akan terbentuk tanggul alam (natural
levees) yang lebih tinggi dari dataran banjir di sekitarnya.
Ciri khusus dataran aluvial di
bagian bawah adalah adanya pola saluran yang berkelok-kelok (meanders). Pola ini terbentuk akibat
proses penimbunan pada bagian luar kelokan dan erosi secara bergantian,
sementara kecepatan aliran berkurang akibat menurunnya kemiringan lereng.
Pengendapan cukup besar, sehingga aliran kadang tidak mampu lagi mengangkut
material endapan, yang akhirnya arah aliran membelok begitu seterusnya membentuk
kelokan-kelokan tertentu.

Pola aliran sungai pada daerah
datar yang penuh beban endapan pasir, kerikil dan bongkah-bongkah, dimana
alirannya saling menyilang dan sering berpindah dan dipisahkan oleh igir lembah
(levee ridge) membentuk pola sungai
teranyam (braided stream). Sungai
yang mengalami peremajaan akan membentuk undak-undakan di kanan-kiri sungai
yang mempunyai struktur sama membentuk teras sungai (rivers terraces). Pada suatu mulut lembah di daerah pegunungan yang
penyebarannya memasuki wilayah dataran, kadang terbentuk suatu bentukan kipas
akibat aliran sungai yang menuruni lereng yang disebut kipas aluvial. Dari
mulut lembah kemudian menyebar dan meluas dengan sudut kemiringan makin
melandai. Fraksi kasar akan terakumulasi di mulut lembah dan fraksi halus akan
tersebar semakin menjauhi mulut lembah di wilayah dataran. Berkurangnya
kecepatan atau daya angkut material menyebabkan banyak material terakumulasi di
bagian hilir, dan akan muncul pada saat air sungai menurun yang disebut gosong
sungai. Hal ini umumnya dijumpai pada sungai-sungai besar dan meanders.
Secara umum apabila dilihat
dari foto udara, kenampakan bentuklahan hasil proses fluvial mempunyai struktur
horisontal, menyebar dan meluas di kanan kiri sungai dengan tekstur halus dan
seragam, rona agak gelap sampai gelap, material berupa endapan pasir dan
kerikil yang relatif halus, pola aliran dendritik kompleks, ada cirikhas aliran
meanders dan braided di bagian hilir, penggunaan lahan untuk sawah irigasi dan
permukiman padat.
4.
Bentuk Lahan
Marine
Aktifitas marine yang utama adalah abrasi,
sedimentasi, pasang-surut, dan pertemuan terumbu karang. Bentuk lahan yang
dihasilkan oleh aktifitas marine berada di kawasan pesisir yang terhampar
sejajar garis pantai. Pengaruh marine dapat mencapai puluhan kilometer kearah
darat, tetapi terkadang hanya beberapa ratus meter saja. Sejauh mana efektifitas proses abrasi,
sedimentasi, dan pertumbuhan terumbu pada pesisir ini, tergantung dari kondisi
pesisirnya. Proses lain yang sering mempengaruhi kawasan pesisir lainnya,
misalnya : tektonik masa lalu, berupa gunung api, perubahan muka air laut
(transgresi/regresi) dan litologi penyusun.

Pengaruh proses marine berlangsung intensif pada daerah pantai pesisir,
khususnya pada garis pantai di wilayah pesisir tersebut, bahkan ada diantaranya
yang sampai puluhan kilometer masuk ke pedalaman. Selain itu, berbagai proses
lain seperti proses tektonik pada masa lalu, erupsi gunung api, perubahan muka
air laut, dan lain – lain sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi medan
pantai dan pesisir beserta karakteristik lainnya. Adakalanya proses marin di
kawasan ini berkombinasi dengan proses angin (aeolin). Medan yang terbentuk
dari kombinasi dus proses ini bersifat spesifik.
Berbagai proses berlangsung di
daerah pantai dan pesisir, yang tenaganya berasal dari ombak, arus, pasang
surut, tenaga tektonik, menurunnya permukaan air laut maupun lainnya. Proses
ini berpengaruh terhadap medan dan karakteristikya, serta mempengaruhi
perkembangan wilayah pantai maupun pesisir tersebut. Secara garis besar
perkembangan pantai atau pesisir secara alami dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu: 1. Perkembangan daratan dan 2. Penyusutan daratan.
Daerah pantai merupakan daerah
yang masih terkena pengaruh dari aktifitas marine. Berdasarkan morfologinya,
daerah pantai dapat dibedakan ke dalam empat kelompok,yaitu:
1. Daerah Pantai Bertebing Terjal
Pantai bertebing terjal di daerah tropik basah pada umumnya menunjukkan
kenampakan yang mirip dengan lereng dan lembah pengikisan di daerah pedalaman.
Aktifitas pasang-surut dan gelombang mengikis bagian tebing ini sehingga
membentuk bekas-bekas abrasi seperti: tebing (cliff), tebing bergantung
(notch), rataan gelombang (platform), dan bentuk lainnya.
2. Daerah Pantai Bergisik
Endapan pasir yang berada di
daerah pantai pada umumnya memiliki lereng landai. Kebanyakan pasirnya berasal
dari daerah pedalaman yang tersangkut oleh aliran sungai, kemudian terbawa arus
laut sepanjang pantai, dan selanjutnya dihempas gelombang ke darat. Sesuai
dengan tenaga pengangkutnya, maka ukuran butir akan lebih kasar di dekat muara
sungai dan berangsur-angsur semakin halus apabila semakin menjauhi muara. Pasir
yang berasal dari bahan – bahan volkanik pada umumnya berwarna gelap (hitam
atau kelabu) sedangkan yang berasal dari koral atau batu gamping berwarna
kuning atau putih. Daerah bagian belakang dari pantai bergisik kebanyakan
memiliki beting (= ridges) yang umumnya terdiri dari beberapa jalur. Cirri ini
menandakan daerah pantai yang tumbuh dan garis pantainya relative lurus.
3. Daerah
Pantai Berawa Payau
Rawa payau juga mencirikan daerah
pesisir yang tumbuh. Proses sedimentasi merupakan penyebab bertambahnya daratan
pada medan ini. Material penyusun umumnya berbutir halus dan medan ini
berkembang pada lokasi yang gelombangnya kecil atau terhalang, pada pantai yang
relative dangkal. Medan ini sangat datar dan tergenang pada saat air laut
pasang.
5.
Bentuk Lahan
Pelarutan Karst

Bentuk lahan karst dihasilkan oleh proses pelarutan pada batuan yang
mudah larut. Menurut Jennings (1971), karst adalah suatu kawasan yang mempunyai
karekteristik relief dan drainase yang khas, yang disebabkan keterlarutan
batuannya yang tinggi. Dengan demikian Karst tidak selalu pada Batugamping,
meskipun hampir semua topografi karst tersusun oleh batugamping.
Fenomena kawasan karst merupakan fenomena unik yang terdapat di
permukaan bumi. Secara geomorfologis, kawasan karst merupakan daerah yang
dominan berbatuan karbonat. Kawasan karst merupakan kawasan yang mudah rusak.
Batuan dasarnya mudah larut sehingga mudah sekali terbentuk gua-gua bawah tanah
dari celah dan retakan. Mulai banyaknya permukiman penduduk yang terdapat di
daerah ini akan berpengaruh terhadap tingginya tingkat pencemaran dan kerusakan
lingkungan. Istilah karst yang dikenal di Indonesia sebenarnya diadopsi dari
bahasa Yugoslavia/Slovenia. Istilah aslinya adalah ‘krst / krast’ yang
merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan Italia
Utara, dekat kota Trieste. kosistem Karst adalah areal-areal yang mempunyai
lithologi dari bahan induk kapur.
Ada juga yang menyimpulkan bahwa jika ada sebuah daerah yang memiliki
banyak sungai bawah tanah sering sekali dijuluki dengan Kawasan karst. Salah satu kondisi wilayah
karst yang paling terlihat oleh mata adalah sebuah daerah yang kering dan panas
pada permukaan tanah namun di bawah tanah menyimpan volume air dalam jumlah
besar.
Bentuklahan yang berkembang pada
satuan ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik litologi dan kondisi iklimnya.
Proses pelarutan akan meninggalkan bekas berupa kubah-kubah gamping yang
membulat teratur dan seragam, dan terbentuk lubang-lubang drainase atau
porositas berupa doline atau polye yang menyatu dengan aliran bawah tanah.
Retakan yang intensif akan mengakibatkan konsentrasi infiltrasi dan kelurusan
dari sinkhole sepanjang retakan.
Karakteristik yang dapat dilihat dari foto udara umumnya berupa bentukan dengan
topografi kasar, banyak bulatan-bulatan kubah sisa pelarutan yang mempunyai
pola teratur, aliran-aliran sungai tidak teratur dan terpotong/menghilang
akibat masuk dalam ponor infiltrasi menuju sungai bawah tanah, rona cerah dan
banyak bercak-bercak kehitaman, vegetasi jarang dan lahan belum banyak
dimanfaatkan. Sistem retakan dan patahan sering banyak dijumpai akibat
pengangkatan material dari dasar laut ke permukaan membentuk perbukitan/
pegunungan (berdasar genesanya).
Bentuklahan yang terjadi pada daerah karst dapat dikelompokkan menjadi
2 bagian, yaitu bentuklahan negatif dan bentuklahan positif.
a)
Bentuk Lahan
Negatif
Bentuklahan
negative dimaksudkan bentuklahan yang berada dibawah rata-rata permukaan
setempat sebagai akibat proses pelarutan, runtuhan maupun terban.
Bentuklahan-bentuklahan tersebut antara lain terdiri atas doline, uvala, polye,
cockpit, blind valley.
Ø Doline
Doline
merupakan bentuklahan yang paling banyak dijumpai di kawasan karst. Bahkan di
daerah beriklim sedang, karstifikasi selalu diawali dengan terbentuknya doline
tunggal akibat dari proses pelarutan yang terkonsentrasi. Tempat konsentrasi
pelarutan merupakan tempat konsentrasi kekar, tempat konsentrasi mineral yang
paling mudah larut, perpotongan kekar, dan bidang perlapisan batuan miring.
Doline-doline tungal akan berkembang lebih luas dan akhirnya dapat saling
menyatu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa karstifikasi (khususnya di daerah
iklim sedang) merupakan proses pembentukan doline dan goa-goa bawah tanah,
sedangkan bukit-bukit karst merupakan bentukan sisa/residual dari perkembangan
doline.
Doline
merupakan suatu istilah yang mempunyai banyak sinonim antara lain, sink,
sinkhole, cockpit, blue hole, swallow hole, ataupun canote. Doline itu sendiri
telah diartikan oleh Monroe (1970) sebagai suatu ledokan atau lobang yang
berbentuk corong pada batugamping dengan diameter dari beberapa meter hingga 1
km dan kedalamannya dari beberapa meter hingga ratusan meter. Karena bentuknya
cekung, doline sering terisi oleh air hujan, sehingga menjadi suatu genangan
yang disebut danau doline.
Berdasarkan
genesisnya, doline dapat dibedakan menjadi 4 yaitu, doline solusi, doline
terban, dan doline alluvial dan doline reruntuhan. (Faniran dan Jeje, 1983).
·
Doline
reruntuhan
Doline reruntuhan ini terjadi
sebagai akibat dari proses pelarutan yang ada di bawah permukaan yang
menghasilkan rongga bawah tanah. Rongga bawah tanah tersebut atapnya runtuh,
hingga mengasilkan cekungan atau depresi dipermukaan. Doline seprti ini
mempunyai lereng yang cukup curam-curam terdiri dari lapisan batuan yang keras
dan menurun secara tiba-tiba.
·
Doline Solusi
Doline solusi terjadi karena
telah berlangsungnya proses solusi/pelarutan tanpa mendapat gangguan lain
terhadap batuan. Doline seperti ini terjadi secara perlahan-lahan akibat
larutnya batuangamping ke dalam tanah oleh air yang meresap melalui joint atau
rekahan-rekahan pada daerah batugamping.
·
Doline Terban
·
Doline Alluvial
Doline aluvial ini terjadi
sebagai akibat karena pelarutan oleh air yang mengalir yang kemudian menghilang
ke dalam tanah. Adanya proses tersebut terbentuk doline aluvial.
Ø Uvala
Uvala adalah cekungan tertutup yang luas yang terbentuk oleh gabungan dari
beberapa danau doline. Uvala memiliki dasar yang tak teratur yang mencerminkan
ketinggian sebelumnya dan karakteristik dari lereng doline yang telah mengalami
degradasi serta lantai dasarnya tidak serata polje (Whittow, 1984).
Ø Polje
Polje adalah ledokan tertutup
yang luas dan memanjang yang terbentuk akibat runtuhnya dari beberapa goa, dan
biasanya dasarnya tertutup oleh alluvium.
Ø Blind Valley
Blind Valley adalah satu lembah
yang mendadak berakhir/ buntu dan sungai yang terdapat pada lembah tersebut
menjadi lenyap dibawah tanah.
b)
Bentuklahan
Positif
Pada prinsipnya
ada 2 macam bentuklahan karst yang positif yaitu kygelkarst dan turmkarst.
Ø Kygelkarst
Kygelkarst merupakan satu
bentuklahan karst tropik yang didirikan oleh sejumlah bukit berbentuk kerucut,
yang kadang-kadang dipisahkan oleh cockpit. Cockpit-cockpit inisialing
berhubungan satu sama lain dan terjadi pada suatu garis yang mengikuti pola
kekar.

Ø Turmkarst
Turmkarst merupakan istilah yang
berpadanan dengan menara karst, mogotewill, pepinohill atau pinnacle karst.
Turmkarst merupakan bentuk positif yang merupakan sisa proses solusional.
Menara karst/ tumkarst terdiri atas perbukitan belerang curam atau vertical
yang menjulang tersendiri diantara dataran alluvial.
Ø Stalaktit dan Stalakmit
Stalaktit adalah bentukan
meruncing yang menghadap kebawah dan menempel pada langit-langit goa yang
terbentuk akibat akumulasi batuan karbonat yang larut akibat adanya banjir.
Stalakmit hamper mirip dengan stalaktit
namun berada di bawah lantai dan menghadap keatas.
6.
Bentuk Lahan
Aeolin

Umumnya gumuk pasir terbentuk pada pantai berpasir yang landai dan datar, ada
angin yang berhembus dengan kecepatan tinggi, sinar matahari kontinyu, ada akumulasi
pasir yang berasal dari sungai yang bermuara di situ, terdapat bukit penghalang
di belakang pantai dan tumbuhan berupa spinifex lithorus, pandanus,
calanthropus gigantae, ipomoa pescaprae dan kaktus. Beberapa ciri khusus
antara lain berstruktur sedimen permukaan gelembur gelombang (ripple mark) akibat pergeseran butiran
pasir pengaruh arah angin, perlapisan horisontal di bagian dalam, lapisan
bersusun dan silang siur. Rona cerah, tekstur halus-seragam, pola teratur dan
banyak sungai bermuara dan melebar akibat pertemuan dengan laut. Kadang
terbentuk danau tapal kuda (“oxbow
lake”), sungai berpindah dan akumulasi material pasir di depan tebing
penghalang.
Bentuklahan asal proses eolin dapat terbentuk dengan baik jika memiliki
persyaratan sebagai berikut :
a.
Tersedia material berukuran pasir
halus hingga pasir kasar dengan jumlah yang banyak.
b.
Adanya periode kering yang panjang
dan tegas.
c.
Adanya angin yang mampu mengangkut
dan mengendapkan bahan pasir tersebut.
d.
Gerakan angin tidak banyak terhalang
oleh vegetasi maupun objek yang lain.
Endapan oleh angin terbentuk oleh
adanya pengikisan,pengangkutan dan pengendapan bahan-bahan tidak kompak oleh
angin. Endapan karena angin yang paling utama adalah gumuk pasir(sandunes),dan
endapan debu(loose). Kegiatan angin mempunyai dua aspek utama,yaitu bersifat
erosif dan deposisi. Bentuklahan yang berkembang terdahulu mungkin akan
berkembang dengan baik apabila di padang pasir terdapat batuan.
Pada
hakekatnya bentuklahan asal proses eolin dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
1.
Erosional, contohnya : lubang angin dan lubang ombak
2.
Deposisional, contohnya : gumuk pasir (sandunes)
3.
Residual, contohnya : lag deposit, deflation hollow , dan pans
Contoh bentuk lahan asal proses eolin :
1.
Gumuk Pasir atau Sandunes
Gumuk pasir adalah gundukan bukit atau igir dari pasir yang terhembus
angin. Gumuk pasir dapat dijumpai pada daerah yang memiliki pasir sebagai
material utama, kecepatan angin tinggi untuk mengikis dan mengangkut
butir-butir berukuran pasir, dan permukaan tanah untuk tempat pengendapan
pasir, biasanya terbentuk di daerah arid (kering).
Bentuk gumuk pasir bermacam-macam tergantung pada faktor-faktor jumlah
dan ukuran butir pasir, kekuatan dan arah angin, dan keadaan vegetasi. Bentuk
gumuk pasir pokok yang perlu dikenal adalah bentuk sabit (barchans),melintang
(transverse), memanjang (longitudinal dune), parabola (parabolik), bintang
(star dune).
Secara garis besar, ada dua tipe gumuk pasir, yaitu free dunes
(terbentuk tanpa adanya suatu penghalang) dan impedeed Dunes (yang terbentuk
karena adanya suatu penghalang).
Beberapa tipe gumuk pasir:
·
Gumuk Pasir sabit (barchan)
Gumuk pasir ini bentuknya menyerupai bulan sabit dan terbentuk pada
daerah yang tidak memiliki barrier.(penghalang) Besarnya kemiringan lereng
daerah yang menghadap angin lebih landai dibandingkan dengan kemiringan lereng
daerah yang membelakangi angin, sehingga apabila dibuat penampang melintang
tidak simetri. Ketinggian gumuk pasir barchan umumnya antara 5 – 15 meter.
Gumuk pasir ini merupakan perkembangan, karena proses eolin tersebut terhalangi
oleh adanya beberapa tumbuhan, sehingga terbentuk gumuk pasir seperti ini dan
daerah yang menghadap angin lebih landai dibandingkan dengan kemiringan lereng
daerah yang membelakangi angin.
·
Gumuk Pasir Melintang (transverse
dune)
Gumuk pasir ini terbentuk di daerah yang tidak berpenghalang dan banyak
cadangan pasirnya. Bentuk gumuk pasir melintang menyerupai ombak dan tegak
lurus terhadap arah angin. Awalnya, gumuk pasir ini mungkin hanya beberapa
saja, kemudian karena proses eolin yang terus menerus maka terbentuklah bagian
yang lain dan menjadi sebuah koloni. Gumuk pasir ini akan berkembang menjadi
bulan sabit apabila pasokan pasirnya berkurang.
·
Gumuk Pasir Parabolik
Gumuk
pasir ini hampir sama dengan gumuk pasir barchan akan tetapi yang membedakan
adalah arah angin. Gumuk pasir parabolik arahnya berhadapan dengan datangnya
angin. Awalnya, mungkin gumuk pasir ini berbentuk sebuah bukit dan melintang,
tetapi karena pasokan pasirnya berkurang maka gumuk pasir ini terus tergerus
oleh angin sehingga membentuk sabit dengan bagian yang menghadap ke arah angin
curam.
·
Gumuk Pasir Memanjang
(longitudinal dune)
Gumuk
pasir memanjang adalah gumuk pasir yang berbentuk lurus dan sejajar satu sama
lain. Arah dari gumuk pasir tersebut searah dengan gerakan angin. Gumuk pasir
ini berkembang karena berubahnya arah angin dan terdapatnya celah diantara
bentukan gumuk pasir awal, sehingga celah yang ada terus menerus mengalami
erosi sehingga menjadi lebih lebar dan memanjang.
·
Gumuk Pasir Bintang (star dune)
Gumuk pasir bintang adalah gumuk pasir yang dibentuk sebagai hasil
kerja angin dengan berbagai arah yang bertumbukan. Bentukan awalnya merupakan
sebuah bukit dan disekelilingnya berbentuk dataran, sehingga proses eolin pertama
kali akan terfokuskan pada bukit ini dengan tenaga angin yang datang dari
berbagai sudut sehingga akan terbentuk bentuklahan baru seperti bintang. Bentuk
seperti ini akan hilang setelah terbentuknya bentukan baru disekitarnya.
2.
Loess
Loess adalah bentuklahan asal proses eoline yang terbentuk dari bahan
endapan angin yang berukuran debu oleh erosi angin yang berasal dari daerah
gurun dan pada umumnya tidak berlapis. Bentuk lahan ini kemungkinan juga
mengandung pasir halus dan liat. Bahan seperti loess ini menutupi 1/10 daratan
di muka bumi. Loess umumnya berwarna kuning dengan sekurang kurangnya 60%-70%
partikel berukuran debu dan bertekstur geluh berdebu atau geluh liat berdebu.
Loess cenderung pecah-pecah pada sepanjang bidang vertical apabila terkuak oleh
erosi air atau aktivitas manusia. Akibatnya banyak bidang vertical yang stabil
yang mencapai ketinggian 6 m terdapat pada daerah loess di sepanjang sisi
lembah dan galian untuk jalan.
7.
Bentuk Lahan Denudasional

Denudasi berasal dari kata dasar nude yang berarti telanjang, sehingga
denudasi berarti proses penelanjangan permukaan bumi. Denudasi cendurung akan
menurunkan bagian permukaan bumi yang positif hingga mencapai bentuk permukaan
bumi yang hamper datar membentuk dataran nyaris (pineplain).
Denudasi meliputi dua proses utama yaitu Pelapukan dan perpindahan
material dari bagian lereng atas ke lereng bawah oleh proses erosi dan gerak
massa batuan (masswashting). Proses denudasional (penelanjangan) merupakan
kesatuan dari proses pelapukan gerakan tanah erosi dan kemudian diakhiri proses
pengendapan. Semua proses pada batuan baik secara fisik maupun kimia dan
biologi sehingga batuan menjadi desintegrasi dan dekomposisi. Batuan yang lapuk
menjadi soil yang berupa fragmen, kemudian oleh aktifitas erosi soil dan
abrasi, tersangkut ke daerah yang lebih landai menuju lereng yang kemudian
terendapkan.

8.
Bentuk Lahan Glasial
Geomorfologi Gletser saat ini adalah kurang penting pengaruhnya pada
zaman sekarang dalam membentuk bentuk tanah, kecuali di lintang tinggi dan pada
ketinggian tinggi, tetapi gletser yang ada selama Pleistosen meninggalkan jejak
pada banyak jutaan mil persegi pada permukaan bumi. Beberapa 4,000,000 mil
persegi di Amerika Utara, 2.000.000 mil persegi di Eropa dan mungkin 1.500.000
mil persegi di Siberia adalah glaciated. Selain itu, banyak daerah rendah
tertutup oleh tudung es ( ice caps) lokal. Ribuan lembah gletser ada di
pegunungan di mana sekarang ada tidak baik gletser atau hanya sebagian kecil.

§ Glasiasi Kontinental
Glasiasi
Kontinental dapat menghanyutkan, mentransport dan mengendapkan material.
Glasiasi kontinental disebabkan oleh iklim, ketinggian, curah hujan dan
aktivitas atmosfer (CO2 yang berlebihan). Dilain pihak, tutupan lahan yang
bagus dengan vegetasi-vegetasi yang beranekaragam akan mengakibatkan penipisan
kadar karbondioksida di atmosfer. Para geolosists telah mempelajari kumpulan
gletser di daerah-dearah umum dan antaritika, tempat ini adalah satu-satunya
yang menyajikan contoh dari lempeng es yang baik. pembahasan ini, bagaimanapun
belum menjelaskan penyebab glasiasi kecuali bila kita telah menelaah lebih
dalam dan teliti mengenai ketebalan dari satu lembar es, laju gerak, proses
dari pengikisan dan mengangkut materi, dan sifat alami yang tersimpan
tersimpan.
Dikarenakan
atmosfer yang tertentu telah ada. peningkatan dari karbondioksida pada atmosfer
menghasilkan iklim lebih dingin karena gas, uap air. Gas-gas tersebut berfungsi
sebagai pelindung dan mencegah pancaran dari panas dari bumi. Limestone (batu
gamping) di laut melalui aktivitas organik melakukan pelepasan jumlah besar
dari karbondioksida ke athmosphere. Karbondioksida pada air adalah faktor
penting dalam mengikat limestone, jika kandungan limestone dilaut luas maka ini
jelas merupakan sumber-sumber karbonsdioksida yang terdapat pada atmosphire.
Oleh karenanya laut dengan luas yang besar akan menghasilkan iklim yang
cenderung dingin.
Kelebihan
dari udara ini adalah untuk menghalangi masuknya sinar matahari yang masuk dan
oleh sebab itu suhu di bumi menjadi agak lembut/sejuk. Beberapa gejala
astronomis seperti perubahan panas yang disebar oleh matahari. Gerakan dari
udara dan geseran dari kutub akan kemungkinan terjadinya glasiasi. Namun sejauh
ini, hipotesa yang benar mengenai penyebab glasiasi masih belum diketahui.
§ Pembentukan Gletser di Daerah Benua

Terdapat
pembatas di dekat aliran bahkan meskipun di jurang yang lebih lebar seperti
yang sekarang ditempati oleh danau besar, erosi gletser telah menjadi hal yang
biasa di daerah kutub-kutub besar, mirip dengan aktifitas erosi gletser di
daerah pegunungan, sisa akumulasi dari luncuran es benua adalah berupa topologi
yang sederhana. Contohnya adalah terdapatnya marine sangat kecil di bandingkan
dengan gletser pegunungan, jarang yang memiliki tingginya 100 kaki. Permukaan
dari gletser lebih rumit dan menyingkap sebuah variasi bentuk dari gletser di
setiap waktu yang berbeda. Variasi dari akumulasi glacial mempunyai istilah
sebagai berikut :
• Drumlin
adalah
bukit yang berbentuk oval, seperti setengah telur yang terdiri atas massa pasir
dan batu kerikil (orogenesa). Bentuk-bentuk drumlin, yaitu:
1.
Paralel Kampak
2.
Menyerupai bukit ( rocdrumlin)
3.
Kumpulan Drumlin disebut ” Swarp”
• Landform of Fluvio glacial
Deposition :
1. Kames 

2. Kames Terraces
3. Kames Delta
4. Eskers
• Deposit
Fluvioglasial
1. Ketlle Holes
2. Brainded Streams
3. Varves
§ Bentuk dan gerakan dari gletser kontinental

Pada
saat terdapat rekahan yang tidak mempunyai celah maka gleser meluap luas ke
permukaan dari satu aliran es tebal dan oleh karenanya pembangunan karang
dengan maksud untuk menahan laju aliran adalah mustahil untuk dilakukan. Satu
gundukan es besar di suatu daerah dapat mengikis dan menutup lapisan tanah yang
ada sebelumnya. Menggiling permukaan dan batuan dasar sepanjang gletser ini
mengalir sampai es ini meleleh.
Gumpalan
es secara konstan dapat berubah bentuk dan volumenya, sesuai dengan daerah
topografinya. Di dataran rendah es melebar dan menjulur. Ketika dalam keadaaan
seimbang dan melelehan, gerakan es berhenti dan satu pusat es terbentuk, tetapi
bukan sepanjang hulu es front. Kejadian di hulu tidak selalu berbarengan dengan
sesuatu sebelumnya, dan ini dicerminkan pada pola marine
9.
Bentuk Lahan Organik

secara alamiah terbentuk dari proses kegiatan makhluk hidup,
contohnya adalah bentuklahan terumbu karang (coral reefs).
Terumbu karang adalah masa endapan kapur (limestone/CaCO3) dimana endapan kapur ini terbentuk dari hasil sekresi biota laut pensekresi kapur (coral/karang).
Koral sendiri adalah koloni dari biota laut yang dinamakan polyp. Hewan
ini dicirikan memiliki bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak
di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Polyps hidup optimal di lautan
dengan suhu berkisar 20 derajat Celsius dengan kedalaman lebih dari 150 kaki
atau 45
meter.

Sebagian besar polyps
melakukan simbiosis dengan alga zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya.
Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui
fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan
komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan
hidup zooxanthellae. Kedua organisme laut ini sama-sama menghasilkan atau
mensekreasi kapur.
v Jenis Terumbu Karang
1)
Fringing Reffs
(terumbu karang tepi)

2)
Barrier Reffs (terumbu karang penghalang)

Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau,
sekitar 0,25 km ke arah laut lepas. Terbentuk pada kedalaman 1.000 kaki atau
300 meter. Terkadang membentuk lagoon (kolom air) atau celah perairan. Umumnya karang
penghalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk
gugusan pulau karang yng terputus-putus. Contohnya seperti Batuan Tengah
(Bintan, Kepulauan Riau), Spermonde (Sulawesi Selatan), Kepulauan Banggai
(Sulawsi Tengah).
3)
Atol (terumbu karang cincin)

Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari
pulau-pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan
daratan. Menurut Darwin, terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari
terumbu karang penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter. Contoh Taka
Bone Rate (Sulawesi), Maratua (Kalimantan Selatan), Pulau Dana (NTT), Mapia
(Papua).
10.
Bentuk Lahan
Antropogenik
Bentuk
lahan atau Iandform adalah bentukan alam di permukaan bumi khususnya di daratan
yang terjadi karena proses pembentukan tertentu dan melalui serangkaian evolusi
tertentu pula (Marsoedi, 1996). Sukmantalya (1995), menjelaskan bahwa bentuk
lahan merupakan suatu kenampakan medan yang terbentuk oleh proses alami,
memiliki komposisi tertentu dan karakteristik fisikal dan visual dengan julat
tertentu yang terjadi dimanapun bentuk lahan tersebut terdapat. Lebih lanjut
Gunadi (1991) mengemukakan bahwa berkaitan dengan data bentuk-lahan, tanah,
hidrologi, dan sebagainya, dapat merumuskan alternatif-Alternatif dan strategi
pengembangan guna perencanaan penggunaan lahan. Sedangkan (Way 1973 dalam
Zuidam, 1979), bahwa bentuk lahan adalah kenampakan medan yang dibentuk oleh
proses-proses alami yang mempunyai susunan tertentu dan julat karakteristik
fisik dan visual di mana bentuk lahan itu terbentuk. Verstappen (1983),
mengemukakan bahwa ada beberapa faktor geomorfologi mayor yang berpengaruh
dalam pengembangan lahan yaitu bentuk lahan, proses geomorfologis, dan kondisi
tanah. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa bentuklahan mencakup kemiringan lahan,
proses geomorfologi; mencakup banjir, tanah longsor, dan bahaya dari proses
alam yang merugikan, sedangkan mengenai kondisi tanah, antara lain mencakup
kedalaman batuan dari pelapukan material. Karakteristik geomorfologis dalam hal
ini bentuk lahan/medan memberikan informasi yang dapat menentukan dalam
penggunaan lahan suatu daerah tertentu.
Antropogenik
merupakan proses atau akibat yang berkaitan dengan dengan aktivitas manusia.
Sehingga bentuk lahan antropogenik dapat disebut sebagai bentuk lahan yang
terjadi akibat aktivitas manusia. Aktivitas tersebut dapat berupa aktivitas
yang telah disengaja dan direncanakan untuk membuat bentuk lahan yang baru dari
bentuk lahan yang telah ada maupun aktivitas oleh manusia yang secara tidak
sengaja telah merubah bentuk lahan yang telah ada.
Bentuk
lahan antropogenik dapat dibentuk dari bentuk-bentuk lahan yang telah ada.
Misalnya bentuk lahan marin yang dapat berubah menjadi pelabuhan dan pantai
reklamasi seperti yang terdapat pada pantai Marina Semarang, dan bentuk lahan
struktural dan fluvial dapat berubah menjadi waduk serta bentuk lahan
struktural dan denudasional dari bukit yang telah mengalami perubahan bentuk
akibat aktivitas manusia seperti yang terjadi di bukit Ngoro Mojokerto.
Contoh
dari bentuk lahan antropogenik berbeda dengan contoh dari penggunaan lahan. Misalnya
sawah dan permukiman, kedua contoh ini bukan merupakan bentuk lahan
antropogenik melainkan termasuk pada bentuk penggunaan lahan atau landuse
karena sawah dan permukiman tidak merubah bentuk lahan yang telah ada, sawah
dan permukiman hanya termasuk upaya pemanfaatan dari permukaaan bentuk lahan.
Bisa saja sawah ada di dataran bentuk lahan aluvial, di lereng gunung, atau
bahkan di gumuk pasir. Begitu juga dengan permukiman juga bisa terdapat di
dataran rendah, dataran tinggi, lembah, maupun kaki lereng, namun keberadaan
sawah dan permukiman tersebut tidak bisa digolongkan dalam bentuk lahan
antropogenik.
Manusia
dan aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari baik secara sadar maupun tidak
sadar dapat menyebabkan perubahan pada bentuk lahan yang telah ada menjadi
bentuk lahan antropogenik. Aktivitas tersebut antara lain:
·
Aktivitas reklamasi misalnya pada pantai.
·
Aktivitas pembangunan pemanfaatan lahan
yang menyebabkan perubahan yang mencolok pada bentuk lahan.
·
Aktivitas penambangan atau pengambilan
material yang dapat menyebabkan perubahan pada bentuk lahan.
Aktivitas
antropogenik di Indonesia banyak jumlahnya, namun tidak semuanya menghasilkan
bentuk lahan yang potensial. Misalnya aktivitas reklamasi pada pantai dapat
menyebabkan erosi dan abrasi pada pantai tersebut. Aktivitas pembangunan waduk
yang kurang tepat juga menyebabkan kerusakan pada daerah tangkapan hujan
sekitar waduk sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan tanah berupa
rekahan dan retakan tanah. Oleh karena itu, aktivitas antropogenik dalam
merubah lahan hendaknya memperhatikan dampak terhadap lahan disekitarnya.
Contoh
lahan antropogenik yang ada di Indonesia yaitu Pantai Marina Semarang, yang
terbentuk karena proyek reklamasi pantai, waduk, pelabuhan, dan bukit Ngoro
yang ada di Mojokerto.
1. Pantai
Marina Semarang
Desakan
kebutuhan ekonomi menyebabkan wilayah pantai yang seharusnya menjadi wilayah
penyangga daratan menjadi tidak dapat mempertahankan fungsinya. Daerah sepadan
pantai, dihitung 100 meter dari pantai pada waktu pasang tertinggi, sebagaimana
diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, tidak bebas lagi dari
kegiatan pembangunan, misalnya kegiatan reklamasi. Makna reklamasi dalam arti
yang sebenarnya adalah upaya memperbaiki daerah yang tidak terpakai atau tidak
berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
sebagaimana disebutkan di atas (Ensiklopedia Nasional Indonesia dalam Pratikto,
2004). Reklamasi merupakan upaya meningkatkan sumber daya alam lahan dari aspek
ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan cara pengurangan atau dengan pengeringan
lahan.
Pantai
Marina Semarang merupakan pantai yang terbentuk karena aktivitas reklamasi.
Kawasan yang direklamasi tersebut memanjang sesuai dengan bibir atau garis
pantai. Dengan pola reklamasi yang demikian, maka ini akan melewati daerah
tambak yang dimiliki oleh petambak pada daerah tepi pantai. Lebih lanjut
reklamasi ini mengarah ke laut. Hal ini melihat daerah yang direklamasi cukup
luas yaitu sekitar 200 hektar. Padahal daerah yang sebagian merupakan area
tambak kurang produktif yaitu hanya 80 hektar.
Pelaksanaan
pembangunan reklamasi ini tidak dilakukan dalam satu tahap, namun kegiatan
tersebut akan dilakukan dalam beberapa tahap. Pada tahap awal kegiatan yang
dilakukan adalah melakukan penimbunan atau pengurukan dengan material sebanyak
5 juta m3. Material tersebut diambil dari kawasan industri candi, sedangkan
sisanya diambil dari daerah sekitar lokasi. Total material pengurukan adalah 15
juta m3. Material yang digunakan berupa batuan vulkanik dan breksi. Pada bagian
bawah diisi dengan breksi. Kemudian diatasnya diisi dengan batuan vulkanik.
Dengan kondisi tersebut, material timbunan mengalami penurunan atau penyusutan.
Kemudian pada tahap selanjutnya dilakukan penimbunan kembali sesuai dengan
target.
Secara geologi pantai marina merupakan pantai yang tersusun oleh sedimentasi laut dan sungai serta terdapat endapan aluvium delta yang berumur kuarter. Material aluvium delta yang berupa batu lempung merupakan litologi yang belum terkompaksi secara utuh apalagi ditambah adanya intrusi air laut yang diakibatkan penggunaan air tanah secara berlebihan sehingga akuifer dangkal yang ada menjadi rusak dan terintrusi oleh air laut. Hal ini karena dipesisir pantai marina digunakan sebagai kawasan pariwisata dan perkantoran serta kawasan huni mewah yang sangat banyak membutuhkan air bersih sehingga banyak yang melakukan pengeboran sumur artesis yang mencari lapisan akuifer dalam sehingga terjadi proses kerusakan akuifer dan berdampak pada proses land subsidence didaerah pesisir utara dan secara morfogenesa kawasan pantai marina merupakan daerah pantai genetik yang endapannya tersusun oleh endapan material laut dan sedimentasi sungai. Namun penyalahgunaan fungsi sungai sebagai bahan pembuangan limbah menjadikan daerah kawasan pantai marina menjadi daerah yang kotor. Dari gelombang laut menurut data pasang surut pada bab sebelumnya menunjukan bahwa pantai marina merupakan daerah yang bergelombang menengah keatas sehingga perlunya dilakukan penerapan sistem hijau pantai yang diperlukan sebagai kawasan transisi dan menjaga kestabilan daerah darat dari proses abrasi air laut yang berlebihan.
Berdasarkan peta geologi lingkungan daerah pantai marina merupakan daerah pantai yang jelek akibat endapan litologi berupa napal dan lempung dan gejala amblesan dan pemakaian air tanah yang dieksploitasi secara berlebihan menyebabkan kerusakan stratigrafi daerah utara semarang yang berumur kuarter, serta adanya proses pembebanan pondasi bangunan yang tidak memperhatikan kestabilan dan daya dukung tanah ketika melakukan pembangunan dan pengubahan kawasan hutan bakau menjadi daerah terbuka membuat tingkat lingkungan pantai marina rusak berlebihan secara kuantitatif dan fisik sehingga perlu dilakukan pemulihan dan konservasi lingkungan. Hal lain perlu ditambahkan bahwa reklamasi pantai semarang seharusnya juga memperhatikan daerah aliran sungai dan tingkat kestabilan tanah serta kajian geologinya sehingga perlu penyelidikan tingkat lanjut untuk mengetahui sebaran dan tebal endapan litologi satuan batuan alluvium dan lempung. Hal ini diperlukan sebagai bahan referensi didalam pengelolaan wilayah tingkat lanjut.
Pantai Marina termasuk dalam lahan antropogenik karena pantai ini telah mengalami perubahan yaitu perubahan perubahan kondisi morfologi pantai. Batas pantai atau garis pantai menjadi lebih menjorok ke arah laut.
Secara geologi pantai marina merupakan pantai yang tersusun oleh sedimentasi laut dan sungai serta terdapat endapan aluvium delta yang berumur kuarter. Material aluvium delta yang berupa batu lempung merupakan litologi yang belum terkompaksi secara utuh apalagi ditambah adanya intrusi air laut yang diakibatkan penggunaan air tanah secara berlebihan sehingga akuifer dangkal yang ada menjadi rusak dan terintrusi oleh air laut. Hal ini karena dipesisir pantai marina digunakan sebagai kawasan pariwisata dan perkantoran serta kawasan huni mewah yang sangat banyak membutuhkan air bersih sehingga banyak yang melakukan pengeboran sumur artesis yang mencari lapisan akuifer dalam sehingga terjadi proses kerusakan akuifer dan berdampak pada proses land subsidence didaerah pesisir utara dan secara morfogenesa kawasan pantai marina merupakan daerah pantai genetik yang endapannya tersusun oleh endapan material laut dan sedimentasi sungai. Namun penyalahgunaan fungsi sungai sebagai bahan pembuangan limbah menjadikan daerah kawasan pantai marina menjadi daerah yang kotor. Dari gelombang laut menurut data pasang surut pada bab sebelumnya menunjukan bahwa pantai marina merupakan daerah yang bergelombang menengah keatas sehingga perlunya dilakukan penerapan sistem hijau pantai yang diperlukan sebagai kawasan transisi dan menjaga kestabilan daerah darat dari proses abrasi air laut yang berlebihan.
Berdasarkan peta geologi lingkungan daerah pantai marina merupakan daerah pantai yang jelek akibat endapan litologi berupa napal dan lempung dan gejala amblesan dan pemakaian air tanah yang dieksploitasi secara berlebihan menyebabkan kerusakan stratigrafi daerah utara semarang yang berumur kuarter, serta adanya proses pembebanan pondasi bangunan yang tidak memperhatikan kestabilan dan daya dukung tanah ketika melakukan pembangunan dan pengubahan kawasan hutan bakau menjadi daerah terbuka membuat tingkat lingkungan pantai marina rusak berlebihan secara kuantitatif dan fisik sehingga perlu dilakukan pemulihan dan konservasi lingkungan. Hal lain perlu ditambahkan bahwa reklamasi pantai semarang seharusnya juga memperhatikan daerah aliran sungai dan tingkat kestabilan tanah serta kajian geologinya sehingga perlu penyelidikan tingkat lanjut untuk mengetahui sebaran dan tebal endapan litologi satuan batuan alluvium dan lempung. Hal ini diperlukan sebagai bahan referensi didalam pengelolaan wilayah tingkat lanjut.
Pantai Marina termasuk dalam lahan antropogenik karena pantai ini telah mengalami perubahan yaitu perubahan perubahan kondisi morfologi pantai. Batas pantai atau garis pantai menjadi lebih menjorok ke arah laut.
Dampak
yang paling menonjol adalah secara fisik yaitu perubahan kondisi morfologi
pantai. Batas pantai atau garis pantai menjadi lebih menjorok ke arah laut.
Perubahan garis pantai mengakibatkan perubahan arus mengarah ke pantai. Arus
yang sedianya dapat tertahan di Pantai Marina kemudian berubah arah
masing-masing ke arah barat dan timur. Arus yang ke arah timur memiliki arus
yang relatif besar dengan tidak membawa sedimen laut. Pada arus ini akan
mengakibatkan abrasi terhadap pantai. Akibat abrasi pantai sekitar lima hektare
lahan yang telah diuruk hilang.
Abrasi
diduga di antaranya disebabkan perubahan pola arus yang diakibatkan
anjungan/pemecah ombak yang dibangun sebuah industri di sebelah barat desa.
Petambak (pemilik dan penggarap) yang hidupnya bergantung pada sumber daya
pesisir mengalami kerugian akibat berkurangnya lahan tambak dan penurunan
pendapatan akibat menurunnya produksi tambak dan tangkapan yang dipicu oleh
abrasi dan pencemaran.
Selain
abrasi, reklamasi Pantai Marina secara umum berpengaruh pada terjadinya erosi
pantai di Sayung, Demak. Padahal, daerah tersebut dahulunya merupakan kawasan
sedimentasi. Namun sekarang kondisinya sudah berbeda jauh, di kawasan pantai
itu banyak yang mengalami erosi. Reklamasi atau pengurukan kawasan pantai akan
mengubah sifat arus yang kemudian berdampak pada erosi pantai di daerah lain.
Karena itu, setiap ada pengurukan kawasan pantai harus diwaspadai sifat arus
pantai. Sifat arus air di Pantai Semarang berputar ke timur karena pada sisi
timur Semarang terdapat tanjung. Arus air yang berputar seperti itu menyebabkan
rawan erosi, perubahan fisik pantai, dan sedimentasi pantai dapat berubah.
Selain mengakibatkan dampak tersebut, reklamasi pantai juga akan menambah jarak
tempuh air sungai. Hal ini berpengaruh pada keterbentukan sedimentasi di muara
yang lama sehingga terjadi pendangkalan di sana.
2. Waduk
Waduk adalah kolam besar tempat menyimpan air sediaan untuk berbagai kebutuhan. Waduk dibangun dengan cara membuat bendungan yang lalu dialiri air sampai waduk tersebut penuh. Waduk dapat terbentuk dari bentuk lahan lain yang telah ada. Misalnya berasal dari bentuk lahan struktural dan fluvial. Waduk merupakan bentuk lahan antropogenik karena terbentuk oleh aktivitas manusia yang merubah lahan menjadi berbentuk cekungan.
Dalam pembuatan waduk selain harus memperhatikan teknik-teknik dalam pembuatan waduk juga harus memperhatikan lingkungan sekitar agar tidak sampai merusak daerah tangkapan hujan yang dapat menyebabkan rusaknya lahan biasanya ditandai dengan rekahan dan retakan pada tanah. Masalah utama yang dihadapi oleh waduk di Indonesia adalah masalah erosi dan sedimentasi yang terjadi di daerah tangkapan dan teknologi konservasi yang diterapkan. Erosi merupakan suatu proses penghanyutan tanah oleh kekuatan air dan angin, baik yang terjadi secara alamiah maupun sebagai akibat tindakan atau perbuatan manusia. Banyak sedikitnya partikel tanah tererosi sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah, bentuk kewilayahan atau topografi, vegetasi dan faktor aktivitas manusia terhadap tanah. Erosi mengakibatkan terjadinya pemindahan butiran tanah ke tempat lain melalui suatu proses yang dinamakan angkutan sedimen.
Waduk adalah kolam besar tempat menyimpan air sediaan untuk berbagai kebutuhan. Waduk dibangun dengan cara membuat bendungan yang lalu dialiri air sampai waduk tersebut penuh. Waduk dapat terbentuk dari bentuk lahan lain yang telah ada. Misalnya berasal dari bentuk lahan struktural dan fluvial. Waduk merupakan bentuk lahan antropogenik karena terbentuk oleh aktivitas manusia yang merubah lahan menjadi berbentuk cekungan.
Dalam pembuatan waduk selain harus memperhatikan teknik-teknik dalam pembuatan waduk juga harus memperhatikan lingkungan sekitar agar tidak sampai merusak daerah tangkapan hujan yang dapat menyebabkan rusaknya lahan biasanya ditandai dengan rekahan dan retakan pada tanah. Masalah utama yang dihadapi oleh waduk di Indonesia adalah masalah erosi dan sedimentasi yang terjadi di daerah tangkapan dan teknologi konservasi yang diterapkan. Erosi merupakan suatu proses penghanyutan tanah oleh kekuatan air dan angin, baik yang terjadi secara alamiah maupun sebagai akibat tindakan atau perbuatan manusia. Banyak sedikitnya partikel tanah tererosi sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah, bentuk kewilayahan atau topografi, vegetasi dan faktor aktivitas manusia terhadap tanah. Erosi mengakibatkan terjadinya pemindahan butiran tanah ke tempat lain melalui suatu proses yang dinamakan angkutan sedimen.
3. Pelabuhan
Pemanfaatan dan pengusahaan lahan pantai oleh manusia banyak menimbulkan perubahan fisik bentang lahan yang nyata. Misalnya konstruksi bangunan pantai yang berbentuk pelabuhan. Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. Pelabuhan termasuk lahan antropogenik karena bentuknya telah merubah bentuk lahan pesisir sebelumnya.
Pemanfaatan dan pengusahaan lahan pantai oleh manusia banyak menimbulkan perubahan fisik bentang lahan yang nyata. Misalnya konstruksi bangunan pantai yang berbentuk pelabuhan. Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. Pelabuhan termasuk lahan antropogenik karena bentuknya telah merubah bentuk lahan pesisir sebelumnya.
Di
bawah ini hal-hal yang penting agar pelabuhan dapat berfungsi:
• Adanya
kanal-kanal laut yang cukup dalam (minimum 12 meter)
• Perlindungan
dari angin, ombak, dan petir
• Akses
ke transportasi penghubung seperti kereta api dan truk.
Pembangunan
pelabuhan hendaknya memperhatikan aspek lokasi agar pelabuhan dapat berfungsi
secara efektif dan tidak mengancam lahan sekitar. Misalnya pembangunan
pelabuhan Indonesia cabang
Pontianak yang dibangun di tepi sungai yang dapat menyebabkan pendangkalan yang
disebabkan oleh erosi daerah hulu.
4. Bukit
Ngoro Mojokerto
Gambar
daerah di sekitar bukit Ngoro Mojokerto
Bukit Ngoro terletak di sekitar daerah perbukitan dan patahan watukosek mojokerto. Bukit ini merupakan bukit dari bentuk lahan asal struktural yang kemudian telah mengalami degradasi akibat aktivitas masyarakat sekitar yaitu adanya penambangan pasir dan pengambilan material yang dimanfaatkan sebagai tanggul lumpur lapindo Sidoarjo.
Bukit Ngoro terletak di sekitar daerah perbukitan dan patahan watukosek mojokerto. Bukit ini merupakan bukit dari bentuk lahan asal struktural yang kemudian telah mengalami degradasi akibat aktivitas masyarakat sekitar yaitu adanya penambangan pasir dan pengambilan material yang dimanfaatkan sebagai tanggul lumpur lapindo Sidoarjo.
Oldeman
(1994) menyatakan lima faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan
manusia secara langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian,
eksploitasi berlebihan, dan aktivitas industri dan bioindustri. Lima proses
utama yang terjadi timbulnya tanah terdegradasi, yaitu: menurunnya bahan
kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat, memburuknya struktur dan
pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian unsur hara (Lal, 1986).
Khusus untuk tanah-tanah tropika basah terdapat tiga proses penting terjadinya
degradasi tanah, yaitu:
a) degradasi
fisik berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga memicu pergerakan,
pemadatan, aliran banjir berlebihan, dan erosi dipercepat.
b) degradasi
kimia berhubungan dengan terganggunya siklus C, N, P, S dan unsur lainnya.
c) degradasi
biologi berhubungan dengan menurunnya kualitas dan kuantitas bahan organik
tanah, aktivitas biotik dan keragaman spesies fauna tanah.
Pada
Bukit Ngoro Mojokerto proses degradasi yang nampak ialah proses degradasi fisik
yang ditandai dengan proses memburuknya struktur dan pemadatan tanah serta
erosi tanah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Geomorfologi
adalah sebuah studi ilmiah terhadap permukaan Bumi dan proses yang terjadi
terhadapnya. Secara
luas, berhubungan dengan landform (bentuk lahan).
Menurut Strahler (1983), bentuklahan
adalah konfigurasi permukaan lahan yang dihasilkan oleh proses alam. Lebih
lanjut Whitton (1984) menyatakan bahwa bentuklahan merupakan morfologi dan
karakteristik permukaan lahan sebagai hasil interaksi antara proses fisik dan
gerakan kerak dengan geologi lapisan permukaan bumi. Berdasarkan kedua definisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa bentuklahan merupakan bentang permukaan lahan
yang mempunyai relief khas karena pengaruh kuat dari struktur kulit bumi dan
akibat dari proses alam yang bekerja pada batuan di dalam ruang dan waktu
tertentu.
Verstappen (1983) telah mengklasifikasikan bentuklahan
berdasarkan genesisnya menjadi 10 (sepuluh) macam bentuklahan asal proses,
yaitu:
1.
Bentuklahan
asal proses vulkanik (V), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang
terjadi akibat aktivitas gunung api. Contoh bentuklahan ini antara lain:
kerucut gunungapi, madan lava, kawah, dan kaldera.
2.
Bentuklahan
asal proses struktural (S), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang
terjadi akibat pengaruh kuat struktur geologis. Pegunungan lipatan, pegunungan
patahan, perbukitan, dan kubah, merupakan contoh-contoh untuk bentuklahan asal
struktural.
3.
Bentuklahan
asal fluvial (F), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi
akibat aktivitas sungai. Dataran banjir, rawa belakang, teras sungai, dan
tanggul alam merupakan contoh-contoh satuan bentuklahan ini.
4.
Bentuklahan
asal proses solusional (S), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang
terjadi akibat proses pelarutan pada batuan yang mudah larut, seperti batu
gamping dan dolomite, karst menara, karst kerucut, doline, uvala, polye, goa
karst, dan logva, merupakan contoh-contoh bentuklahan ini.
5.
Bentuklahan
asal proses denudasional (D), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang
terjadi akibat proses degradasi seperti longsor dan erosi. Contoh satuan
bentuklahan ini antara lain: bukit sisa, lembah sungai, peneplain, dan lahan
rusak.
6.
Bentuklahan
asal proses eolin (E), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi
akibat proses angin. Contoh satuan bentuklahan ini antara lain: gumuk pasir
barchan, parallel, parabolik, bintang, lidah, dan transversal.
7.
Bentuklahan
asal proses marine (M), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang
terjadi akibat proses laut oleh tenaga gelombang, arus, dan pasang-surut.
Contoh satuan bentuklahan ini adalah: gisik pantai (beach), bura (spit),
tombolo, laguna, dan beting gisik (beach ridge). Karena kebanyakan sungai dapat
dikatakan bermuara ke laut, maka seringkali terjadi bentuklahan yang terjadi
akibat kombinasi proses fluvial dan proses marine. Kombinasi ini disebut proses
fluvio-marine. Contoh-contoh satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses
fluvio marine ini antara lain delta dan estuari.
8.
Bentuklahan
asal glasial (G), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi
akibat proses gerakan es (gletser). Contoh satuan bentuklahan ini antara lain
lembah menggantung dan morine.
9.
Bentuklahan
asal organik (O), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi
akibat pengaruh kuat aktivitas organisme (flora dan fauna). Contoh satuan
bentuklahan ini adalah mangrove dan terumbu karang.
10.
Bentuklahan
asal antropogenik (A), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi
akibat aktivitas manusia. Waduk, kota, dan pelabuhan, merupakan contoh-contoh
satuan bentuklahan hasil proses antropogenik.
DAFTAR
PUSTAKA
http://earthy-moony.blogspot.com/2010/11/bentuklahan-asal-proses-struktural-ii.html/
Diakses tanggal 04 November 2011
http://earthy-moony.blogspot.com/2010/07/satuan-bentuklahan-asal-proses.html/
Diakses tanggal 04 November 2011
http://kepalabatu.finddiscussion.com/t4-bentuk-lahan-berdasarkan-proses-pembentukannya/
Diakses tanggal 04 November 2011
http://sekerasbatu.blogspot.com/2009/04/konsep-dasar-dan-pengertian-bentang.html/
Diakses tanggal 04 November 2011
http://karangsambung.lipi.go.id/archives/623/
Diakses tanggal 04 November 2011
http://randhard.wordpress.com/tugas/
Diakses tanggal 04 November 2011
http://kelompoklimahmg09.wordpress.com/page/2/
Diakses tanggal 04 November 2011
http://pencariilmu-goresantinta.blogspot.com/2010/06/bentuklahan-asal-proses-solusioal.html/
Diakses tanggal 05 November 2011
http://earthy-moony.blogspot.com/2010/11/bentuklahan-asal-proses-solusional.html/
Diakses tanggal 05 November 2011
http://www.supplement.de/geographie/phygeo/karst.html/
Diakses tanggal 05 November 2011/ Diakses tanggal 05 November 2011
http://glekhoba.blogspot.com/2010/04/bentuklahan-asal-proses-eolin.html/
Diakses tanggal 05 November 2011
http://glekhoba.blogspot.com/2010/04/bentuklahan-asal-proses-eolin.html/
Diakses tanggal 05 November 2011
blognya sangat membantu....
BalasHapus