" PENGEMBANGAN KURIKULUM UNTUK MENGHADAPI TANTANGAN GURU MASA KINI "
UU NO. 14/2005 DAN
PROFESIONALISME GURU
Dalam
proses pembelajaran, guru merukapakan seorang pengembang kurikulum. Agar proses
pembelajaran berkualitas dan relevan, up
to date dengan silabus dan mengetahui sedini mungkin tentang pentingnya
profesionalisme dalam menjalankan tugasnya. Seorang guru juga perlu
memperhatikan adanya kecenderungan globalisasi yang berkonsekuensi pada
perhatian terhadap paradigma, dari paradigma lama ke paradigma baru guru.
Globalisasi, sebagai produk modernisasi yang dimotori barat, telah berdampak
terhadap kemajuan peradaban dunia, yang merupakan suatu pelajaran penting bagi
guru untuk senantiasa melakukan intopeksi, mengedepankan profesionalisme, responsif,
dan inovatif terhadap tuntutan paradigma baru guru tersebut.
Edward
Salles (2006: 62) menuturkan bahwa pendidikan seolah-olah jalur produksi yang
produknya merupakan sebuah subjek dari proses jaminan mutu.
Profesi
dapat didefinisikan sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan. Dalam
hal ini, keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi
ini, setidaknya meliputi aspek: adanya ilmu pengetahuan tertentu; adanya
aplikasi kemampuan/percakapan tertent; menggunakan teknik-teknik ilmiah; dan
berkaitan dengan kepentingan umum. Perhatian terhadap profesi keguruan ini di
Indonesia sudah di mulai sejak zaman kolonial.
Tugas
dan peran guru semakin berat, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Guru sebagai komponen utama dalam dunia pendidikan dituntut untuk
mampu mengimbangi bahkan melampaui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berkembang dalam masyarakat. Melalui sentuhan guru di sekolah diharapkan
mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi tinggi dan siap
mengahadapi tantangan hidup dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang
tinggi. Sekarang dan ke depan, sekolah/madrasah (pendidikan) harus mampu
menciptakan SDM yang berkualitas, baik secara keilmuan maupun secara sikap
mental.
Oleh
karena itu, dibutuhkan sekolah/ madrasah unggul dan berkualitas yang memiliki
ciri-ciri, seperti diungkapkan Louis V.Gerstner, Jr., dkk. (1995): (1) kepala
sekolah yang dinamis dan komunikatif dengan kemerdekaan memimpin menuju visi
keunggulan pendidikan; (2) memiliki visi, misi, dan strategi untuk mencapai
tujuan yang telah dirumuskan dengan jelas; (3) guru-guru yang kompeten dan
berjiwa kader yang senantiasa bergairah dalam melaksanakan tugas profesionalnya
secara inovatif; (4) siswa-siswa yang sibuk, bergairah dan bekerja keras dalam
mewujudkan perilaku pembelajaran; (5) masyarakat dan orang tua yang berperan
dalam menunjang pendidikan.
Dalam
upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional, diperlukan guru dalam jumlah
yang memadai dengan standar mutu kompetensi dan profesionalisme yang mempuni.
Untuk mencapai jumlah guru profesional yang mencukupindan dapat menggerakkan
dinamika kemajuan pendidikan nasional, diperlukan suatu proses yang
berkesinambungan, tepat sasaran,dan efektif. Namun kenyataannya, masih banyak
guru yang belum memenuhi syarat untuk disebut sebagai guru profesional.
Kenyataan ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat bagi
pemerintah.
Bagaimana
mentalitas profesional guru dihadapkan pada tantangan yang kontradiktif dalam
realitas operasional pendidikan? Seperti diungkapkan Abduhzen ( Sumatera
Ekspres, 15/4/2011), Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus
Besar (PB) PGRI, bahwa beberapa pembaharuan sistem pelaksanaan Ujian Nasional
2011( tingkat SMA/MA) berpotensi terjadi kenakalan sekolah/madrasah.
Pembaharuan yang dimaksud adalah sistem pengacakan naskah soal di masing-masing
kelas denagn membuat lima variasi soal. Cara tersebut digadang dapat menekan
kecurangan oknum guru yang membantu siswa mengerjakan soal UN. Salah satu
bentuk kenakalan itu adalah mempermainkan nilai rapor. Mengapa guru atau
sekolah/ madrasahsampai harus memperjuangkan kelulusan siswa dengan cara yang
kurang etis? Hal ini disebabkan guru dan sekolah madrasah memiliki kewajiban
meluluskan siswa, yang kadang harus melakukan pembentukan tim sukses di
sekolah/madrasah. dari hasil penelitian yang dilakukan pengurus besar PGRI,
Abduhzen menturkan bahwa sebetulnya rata-rata Kepala Daerah meminta angka
kelulusan 90 hingga 97%. Tekanan kepada guru dilakukan oleh kepala
sekolah/madrasah. Kepala sekolah/madrasah juga ditekan oleh pemimpin pada level
atasnya seperti kepala daerah.
Profesi
guru, seperti dikatakan Safarina HD (2008: 5), adalah suatu profesi yang
membutuhkan kualifikasi, kompetensi dalam tugas sebagai pendidik, memahami
perkembangan anak dalam mendukung proses pembelajaran di kelas. Guru merupakan
pendidik profesional karena secara implisit seorang guru telah merelakan
dirinya bertanggung jawab terhadap pendidikan para anak didik. Dalam hal ini,
para orang tua mengharapkan amanah yang disampaikan kepada sekolah/para guru
agar seoptimal mungkin dapat mengembangkan potensi, bakat, dan minat anak-anak
mereka. Adanya pelimpahan amanah ini disebabkan tidak semua orang dapat menjadi
guru karena profesi tersebut membutuhkan profesionalaisme dan mengedepankan
kepentingan sosial dan keikhlasan dalam bertugas.
Seorang
yang memilih profesi guru dalam kehidupannyaidealnya yang bersangkutan harus
mengembangkan tiga kemampuan/kompetensi utama, yaitu pribadi, profesional, dan
sosial. Dalam proses pembelajaran, keberhasilan seorang guru terlatak pada
kepribadian, penguasaan metode, frekuensi dan intensitas aktivitas interaktif
guru dan siswa, wawasan, penguasaan materi, dan penguasaan proses pembelajaran.
karena itu, persyaratan menjadi guru tidak hanya memerlukan kecerdasan,
terampil, pintar, dan profesianal, tetapi juga perlu memiliki keunggulan
akhlkul karimah. Meminjam istilah JeDe Kuncoro (2007:76), seorang profesional
(guru) perlu memiliki kompetensi yang meliputi soft competency ( sikap dan
karakter pribadi ) dan hard competency ( Keterampilan dan pengetahuan ).
Dalam
UU No. 14/2005 dikatakan, profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan
berdasarkan prinsip: (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
(b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan keimanan, ketakwaan
dan akhlak mulia; (c) memiliki kualifikasiakademik dan latar belakang
pendidikan sesuai dengan bidang tugas; (d) memiliki kompetensi yang diperlukan
sesuai dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas
keprofesionalan; (f) memperoleh penghasilan yang ditentukankan sesuai dengan
profesi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan
secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (h) memiliki jaminan
perlindungan hukum dalam menjalankan tugas keprofesionalan; (i) memiliki
organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan tugas keprofesioanalan guru (Undang-Undang RI Tentang Pendidikan dan
Peraturan Pemerintahan, ( Soetjipto & Raflis, 2007:18; dan Ravik Karsidi,
2010).
Bila
memerhatikan substansi UU No. 14/2005 dan memerhatikan animo masyarakat
terhadap profesi guru dalam tujuh tahun terakhir 2005-2011, prospek profesi
guru tampak semakin diminati oleh berbagai lapisan masyarakat. Faktor
pendorongnya dapat disebabkan oleh adanya perbaikan kesejahteraan guru setelah
memperoleh sertifikat guru, seperti dimanatkan dalam Undang-Undang No.14/2005.
Memang,
untuk menjadi seorang profesional tidaklah mudah. Seorang guru yang ingin
menjadi profesional, dengan senantiasa beradaptasi dan merespons paradigma baru
tantangan profesi guru, ia hendaknya memiliki motivasi kuat untuk menjadi maju
dan profesional sejati. Sudah barang tentusemua guru bisa menjadi profesional
asalkan ada niat, motivasi, dan komitmen melakukannya.
Peran
pendidikan dalam upaya menuju bangsa indonesia yang maju dan berperadaban ke
depan pada abad ke-21 ini harus menjadi terdepan dalam prioritas pembangunan
SDM. Kualitas pendidikan tidak terlepas dari peranan kualitas proses
pembelajaran, salah satunya ditentukan oleh pendidik/guru yang berkualitas.
Agarproses pembelajaran berkualitas dan tetap relevan, up to datedengan kebutuhan SDM masa depan, seorang guru diharapkan
senantiasa mengedepankan profesionalisme dan beradptasi dalam iklim akademik
yang dinamis dan dalam paradigma baru. Oleh karena itu, dikatakan Kunandar
(2007 :41), dibutuhkan seorang guru yang profesional, visioner, dan mampu
mengelola proses pembelajaran dengan efektif dan inovatif, yang menyenangkan
anak didik dan guru itu sendiri.
AKTUALISASI
KURIKULUM DI SEKOLAH/MADRASAH DAN KEPRIBADIAN ANAK DIDIK
Secara
sosiologis, pendidikan merupakan salah satu institusi pokok dalam masyarakat.
Pertama, keluarga yang menjaga dan membimbing generasi muda/anak didik agar
menjadi mandiri. Kedua, ekonomi yang berfungsi menghasilkan dan
mendistribusikan barang-barang. Ketiga, pemerintah yang berfungsi memberi dan
melindungi masyarakat. Keempat, agama yang bertugas menjawab permasalahan
spiritual. Kelima, pendidik yang berfungsi mendidik masyarakat (Abdullah Idi,
2007: 151). Dalam hal ini, pendidikan memiliki peranan strategis dalam
mencerdaskan masyarakat dan memajukan peradaban suatu bangsa. Pemerintah juga
memiliki tanggung jawab terdepan dalam proses memajukan pendidikan, sebagai
wujud dari pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Proses
pemeblajaran di sekolah/madrasah dalah suatu upaya aktualisasi dua tipe
kurikulum: ideal curriculum dan actual curriculum. Kurikulum yang
pertama, ideal curriculum, merupakan
kurikulum yang dicita-citakan, dalam bentuk rencana, ideal, teks yang belum
dilaksanakan. Sedangkan kurikulumyang kedua, actual curriculum, merupakan
kurikulum yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Optimalisasi kualitas
pembelajaran disekolah/madrasah dapat dilihat pada sejauh mana adanya
kesenjangan antara kurikulum ideal dan kurikulum aktual itu.
Semakin
besar adanya kesenjangan antara kedua jenis kurikulum tersebut, semakin tinggi
tingkat kualitas pembelajaran. Sebaliknya, semakin rendah adanya kesenjangan
antara keduanya, semakin besar keberhasilan dalam proses pembelajaran. Tetapi
sebenarnya antara ideal curriculum
dan actual curriculum tetap ada
kesenjangan, artinya tidak mungkin dalam proses pembelajaran dapat terlakasana
sepenuhnya, seprti diharapkan dalam ideal
curriculum.Tetapi, yang terpenting bagi seorang guru, level kesenjangan itu
sedapat mungkin ditekan.
Tingkat
keberhasilan suatu pembelajaran juga ditentukan beragam komponen, seperti
fasilitas, tenaga pengajar, efektivitas metode yang digunakan, iklim belajar,
kompetisi guru, dan keadaan anak didik. Apabilaterjadi kelemahan pada suatu komponen,
berpengaruh terhadap kinerja komponen lain dalam sistem pembelajaran yang telah
ditetapkan/direncanakan. Guru potensial dan kompeten dalam melaksanakan tugas
akan berarti jika didukung dengan fasilitas yang memadai. Sama halnya guru
kompeten, fasilitas mendukung, dan lingkungan yang representatif juga tidak
akan ada banyak bermanfaat jika anak didik anak rendah. Dalam teori proses
pembelajaran, antara in-put, proses,
dan out-putmestilah berjalan sejajar
dalam mendukung proses pembelajaran.
Persoalan
kurikulum ideal adalah persoalan substansi dari kurikulum yang perlu
ditransformasikan dalam kurikulum aktual dalam proses pembelajaran di kelas.
Proses pembelajaran sedapat mungkin dapat membantu anak didik dalam
beradaptasi, mengatasi beragam persoalan masyarakat di mana mereka berada, dan
pemberian bekal kehidupan masa depan.
Pembenahan
pendidikan nasional setidaknya perlu dilakukan terhadap beberapa kebijakan
nasional harus dilakukan baik dalam arti ideal maupun aktual. Artinya,
pembenahan substansi yang relevan dengan kebutuhan masyrakat Indonesia yang
pluralistik dengan nilai-nilai luhur sebagai identitasnya pada abad ke-21.
Kemudian, kurikulum ideal, katakanlah KTSP, sebagai produk paradigma baru
pendidikan nasional perlu diikuti kemampuan memberi respons dan jawaban positif
bagi kehidupan masa depan. Perbaikan pelayanan pendidikan nasional yang
berkualitas bukanlah persoalan sepele. Otonomi daerah pun belum dikuti otonomi
pendidkan, seprti yang diharapkan. dalam hal ini, desentralisasi pemerintah belum
sepenuhnya diikutidengan desentralisasi pendidikan. hanya sedikit jumalah
daerah (propinsi/kabupaten/kota) yang memberikan anggaran pendidikan diatas
20%. Hal ini disebabkan masih sedikitnya pemerintah daerah dan aparatnya yang
memiliki visi, misi, program, dan komitmen terhadap urgensi pembangunan sektor
pendidikan. Perlu meningkatkan kesadaran dan komitmen dari elite terkait akan
pentingnya investasi pendidikan dalam pembangunan. Ivestasi pendidikan tidak
mengenal iklim dan waktu tidak menguntungkan. Investasi pendidikan tidak hanya
dapat ditinjau dari profit investment
semata, tetapi juga harus diliat dari sisi human
investment.
Ketika
kehidupan anak didik dihadapkan sejumlah dilema dan anomali, sekolah/madrasah
harus meningkatkan perannya berkaitan moral dan akhlak anak didik di samping
peran transfer of knowledge. Maraknya
kasus perkelahian antarpelajar, terlibat narkoba, pergaulan bebas, dan tindak
kriminal pada anak usia sekolah, seharusnya menuntut optimalisasi peran orang
tua/keluarga, sekolah/madrasah, dan masyarakat/negara secara sinergis dan
integral. Rusaknya kepribadian anak didik sesungguhnya ancaman kerusakan bagi
masa depan bangsa.
Lebih
dari itu, anak didik membutuhkan pengetahuan dan pengalaman tentang pol
kehidupan yang mengedepankan kehidupan toleransi. Adalah suatu fakta bahwa
kerusuhan sosial bernuansa sosial, etnis, dan agama di negeri ini, sesungguhnya
tidak terlepas dari karakteristik kepribadian sebagian masyarakat yang tiadak
toleran terhadap perbedaan. Padahal, negara besar dan masyarakat yang plural
seperti Indonesia membutuhkan sikap toleransi yang tinggi dari segenap warga
negara demi menjaga integrasi sosial dan bangsa. Memang, terjadinya suatu
konflik dan kerusuhan sosial jarang sekali disebabkan variabel tunggal, akan
tetapi ditentukan banyak variabel, seperti pengetahuan, pendidikan, pengalaman,
pemahaman nilai agama, kesenjangan sosial-ekonomi terlalau tajam, dan
lain-lain. Namun, toleransi warganya senantiasa perlu dipupuk dan dijaga
kelestariannya. Dalam hal ini, peran dan tanggung jawab sekolah/madrasah, orang
tua/kelurga, dan masyarakat tidak dapat dipisahkan.
Proses
pembentukan kepribadian anak didik (cerdas, berakhlak, toleransi, arif,
bijaksana, rukun, kerja keras, disiplin, jujur, menepati janji) melalui suatu
proses yang panjang yang menuntut optimalisasi peran, fungsi dan teladan semua
pihak. Di Indonesia, persoalan keterkaitan dengan toleransi berkaitan dengan
etnis agaman lebih, dan kesenjangan sosial-ekonomi/kemiskinan menjadi perhatian
penting akhir-akhir ini. Toleransi pada anak didik agaknya sulit akan muncul
ketika keadaan kehidupan masyarakat didalam mayoritas keadaan miskin. Jika
mengharapkan tumbuhnya sikap dan perilaku toleransi tumbuh dan berkembang pada
anak didik, perahtian terhadap kesejahteraan masyarakat/penurunan angka
kemiskinan mutlak dilakukan. Agaknya akan sulit tercipta perilaku dan sikap
toleransi pada anak didk secra spontanitas. Sebab, hal itu berawal dari banyak
variabel/faktor yang terlibat, seperti tingkat kesejahteraan, pendidikan, dan
komitmen politik. Jika, sejumlah persoalan berbangsa tidak dibenahi terlebih
dahulu, sikap dan perilaku toleransi akan sulit diwujudkan pada masyarakat
pluralistik, bahkan sangat mungkin potensi konflik sulit di prediksi.
Kedepan,
perlu upaya sadar dalam penguatan kepribadian anak didik. Sekolah/madrasah
memiliki peran penting dalam menciptakan generasi muda/siswa dalam mewujudkan
kepribadian anak didik yang diharapkan. Sejalan dengan hal itu, pemerintah
mulai mendorong pentingnya pendidikan karakter bagi anak didik. Robert Bala
mengatakan bahwa selain belajar secara formal disekolah/madrasah, belajar
sesungguhnya punya sokongan publik/masyarakat sehingga tidak hanya dilaksanakan
di ruang kelas, tetapi juga di semua lini kehidupan sehari-hari: dari pasar,
jalan, lembaga, publik, aktivitas olahraga, hingga media massa. Apa pun yang
dilakukan pihak terkait akan menjadi nilai penting sebagai bekal mereka
nantinya.
Dalam
menganalisis hambatan-hambatan dalam membentuk sikap dan perilaku kepribadian
anak didik, setidaknya ada beberapa hal yang berkaitan. Pertama, pendidikan
informal bertalian dengan peran institusi keluarga dalam mengemban tugasnya
sebagai pendidik pertama dan utama. Kebiasaan sikap dan perilaku toleransi anak
didik misalnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak masing-masing saling
mempengaruhi dan membutuhkan. Seorang anak yang terbiasa mendapat kasih sayang
dari anaggota keluarga, saling tolong-menolong, jujur, disiplin, toleran, dan
sederhana, diharapkan akan membantu mereka dalam pergaulan diluar rumah
nantinya, di sekolah/madrasah dan masrakat. Kualitas pendidkan informal di
keluarga dapat membantu anak didik dalam bersikap toleransi dengan orang lain
di luar rumah (sekolah/madrasah dan masyarakat).
Kedua,
pendidikan formal di sekolah/madrasah. Seorang guru diharapkan dapat meneruskan
nilai-nilai edukatif telah tertanam dalam keluarga dan mengembangkan basis ilmu
pengetahuan dan teknologi berdasarkan silabus kurikulum yang berlaku pada
jenjang satuan pendidikan. Sekolah/madrasah terdiri dari pendidik/guru, anak
didik/siswa,dan staf-administrasi saling membantu dan membutuhkan. Terlebih
pentingnya kualitas guru, yang disebut pendidik profesional, sangat dituntut
dalam menumbuhkan nilai-nilai edukatif dan perilaku toleransi anak didik.
Ketiga,
pendidikan non-formal di masyarakat. Kontak sosial ketiga ini merupakan tempat
pergaulan manusia dan merupakan lapangan pendidikan yang luas, yaitu adanya
hubungan antara dua orang atau lebih tak terbatas. Hubungan sekolah/madrasah
sebagai institusi sosial perlu memerhatikan relevansi kurikulum dengan
kebutuhan masyarakat; metode yang digunakan harus mampu merangsang anak didik
untuk mengenal kehidupan nyata di masyarakat; menumbuhkan siskap anak
didik/siswa untuk belajar dan bekerja dari kehidupan sekitarnya; sekolah selalu
berinteraksidengan kehidupan masyarakat sehingga kebutuhan kedua pihak akan
terpenuhi; dan sekolah diharapkan dapat mengembangkan masyarakat dengan cara
melakukan pembaruan tata kehidupan masyarakat.
Membentuk
perilaku dan sikap toleran anak didik tidak semudah membalik telapak tangan,
tetapi memerlukan suatu proses waktu yang panjang. Hambatan-hambatan anak didik
dalam berperilaku toleran, arif, dan rukun sesungguhnya perlu dilihat pada tiga
bentuk kontak sosial pada lembaga pendidikan formal, informal, dan nonformal,
yang saling berkaitan dan saling membutuhkan menuju suatu kepribadian anak
didik yang diharapkan adanya kondisi kontak sosial yang positif dan saling
mendukung dalam institusi pendidikan keluarga, sekolah/madrasah, dan
masyarakat.
Apa
pun kenyataan tentang kepribadian anak didik sebetulnya sebagai produk
sekolah/madrasah atau pendidikan terkini. Ke depan, menempatkan pentingnya
sektor pendidikan diposisikan sebagai prioritas investasi pembangunan nasional
tidak dapat dihindari, bila bangsa ini mengharapkan sebagai suatu bangsa yang
kuat ke depan. kepribadian anak didik sesungguhnya berkorelasi positif terhadap
peran dan fungsi sekolah/madrasah juga
peran dan fungsi keluarga dan masyarakat secara integral dan bertanggung jawab
terahadap kualitas pembelajaran di sekolah/madrasah dan kualitas pendidikan
nasional. Karenaya, optimalisasi peran dan fungsi sekolah/madrasah sangat
dituntut dalam mencapai tujuan pembelajaran menuju terciptanya suatu
kepribadian anak didik sebagai bekal untuk merespons tantangan kehidupan global
di masa depan yang dinamis.
FUNGSI
DAN PERAN
PENGEMBANGAN
KURIKULUM
Kurikulum
merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi bahan pelajaran serta
cara yang digunakan aktivitas belajar mengajar. Kurikulum dipandang sebagai
program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan
pendidikan. Apabila masyarakat dinamis, kebutuhan anak didik pun akan dinamis
sehingga tidak tersing dalam masyarakat. Sebab, masyarakat berubah berdasarkan
kebutuhan.
A. Fungsi Pengembangan Kurikulum
Dalam
aktivitas belajar mengajar, kedudukan kurikulum sangat krusial, karena dengan
kurikulum anak didik akan memperoleh manfaat. Namun, di samping kurikulum
bermanfaat bagi anak didik, ia juga mempunyai fungsi-fungsi lain sebagai
berikut.
1. Fungsi Kurikulum dalam Rangka Pencapaian
Tujuan Pendidikan
Kurikulum pada suatu sekolah merupakan
suatu alat atau usaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan sekolah
tertentuyang dianggap cukup tepat dan krusial untuk dicapai sehingga salah satu
langkah yang perlu dilakukan adalah meninjau kembali tujuan yang selama ini
digunakan oleh sekolah yang bersangkutan (Soetopo & Soemanto, 1993: 17).
Di Indonesia, ada empat tujuan
pendidikan utama yang secara hierarkis dapat dikemukakan, yaitu tujuan
nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional.
Dalam pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut
mesti dicapai secara bertingkat dan saling mendukung, sedangkan keberadaan
kurikulum di sisniadalah sebagai alat untuk mencapai tujuan (pendidikan).
2. Fungsi Kurikulum
Keberadaan kurikulum sebagai organisasi
belajar tersusun merupakan suatu persiapan bagi anak didik. Anak didik
diharapkan mendapat sejumlah pengalaman baru yang di kemudian hari dapat
dikembangkan seirama dengan perkembangan anak, agar dapat memenuhi bekal
hidupny nanti.
Kalau kita kaitkan dengan Pendidikan
Islam, pendidikan mesti diorientasikan kepada kepentingan peserta didik, dan
perlu diberi bekal pengetahuan untuk hidup pada zamannya kelak. Dalam hadis
Nabi SAW disebutkan: “Didiklah anak-anakmu,karena mereka diciptakan untuk
menghadapi zaman yang lain dari zamanmu”. Sebagai alat dalam mencapai tujuan
pendidikan, kurikulum diharapkan mampu menawarkan program-program pada anak
didik yang akan hidup pada zamannya, dengan latar belakang sosio historis dan
kultural yang berbeda dengan zaman di
mana kedua orangtuanya berada.
3. Fungsi Kurikulum
bagi Pendidik
Guru merupakan pendidik profesional,
yang secara implisit telah merelakan dirinya untuk memikul sebagian tanggung
jawab pendidikan yang ada di pundak para orangtua. Tatkala menyerahkan anaknya
ke sekolah, berarti orangtua sudah melimpahkan sebagian tanggung jawab
pendidikan anaknya kepada pendidik, tentunya orangtua berharap agar anaknya
menemukan guru yang baik, kompeten dan berkualitas (Ramayulis, 1996: 39).
Adapun fungsi kurikulum bagi guru atau
pendidik adalah sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisasi
pengalaman belajar para anak didik dan pedoman untuk mengadakan evaluasi
terhadap perkembangan anak didik dalam rangka meyerap sejumlah pengalaman yang
diberikan.
Dengan adanya kurikulum, sudah barang
tentu tugas pendidik sebagai pengajar dan pendidik lebih terarah. Pendidik juga
merupakan salah satu faktor yang sangat menetukan dan sangat penting dalam
proses pendidikan, dan merupakan salah satu komponen yang berinteraksi secara
aktif dengan anak didik dalam pendidikan.
Langeveld mengajukan lima komponen yang
berinteraksi secara aktif dalam proses pendidikan berikut.
Ø Komposisi
tujuan pendidikan, sebagai landasan ideal pendidikan dan yang dicapai melalui
proses pendidikan tersebut;.
Ø Komponen
terdidik, sebagai masukan manusiawi yang diperlukan sebagai subjek aktif dan
dikenai proses pendidikan tersebut.
Ø Komponen
alat pendidikan, sebagai unsur sarana atau objek yang dikenakan kepada terdidik
dalam proses pendidikan.
Ø Komponen
pendidik , sebagai manusiawi yang membantu mengenalkan alat pendidikan kepada
anak didik dan mengarahkan proses pendidik menuju sasaran yang diharapkan
sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan.
Ø Komponen
lingkungan pendidikan, sebagi unsur suasana yang membantu dan memberikan udara
segar dalam proses pendidikan (Supeno, 1995: 42-43).
Dari uraian diatas, keberadaan pendidik
memang sangat krusial dalamproses pendidikan. Kurikulum merupakan alat mencapai
tujuan pendidikan yang di harapkan dapat meringankan sebagian tugas pendidik
dalam proses belajar mengajar yang efektif dan efisien, karenanya kurikulum
mempunyai fungsi sebagai pedoman.
Sebagai pedoman, kurikulum dijadikan
alat yang berfungsi untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. kurikulum sekolah
memuat uraian mengenai jenis-jenis program apa yang dilaksanakan di sekolah
tersebut, bagaimana menyelenggarakan setiap jenis program, siapa yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaannya, dan perlengkapan apa yang dibutuhkan.
Atas dasar itu, sekolah dapat
merencanakan secara lebih tepat jenis tenaga apa yang masih dibutuhkan sekolah,
keterampilan-keterampilan apa yang masih perlu di kembangkan di kalangan para
perugas yang ada sekarang, perlengkapan apa yang masih perlu diadakan, dan
lain-lain.
4. Fungsi Kurikulum bagi Kepala/Pembina
Sekolah/Madrasah
Kepala sekolah merupakan administrator
dan supervisor yang mempunyai tanggung jawab terhadap kurikulum. Fungsi
kurikulum bagi kepala sekolah dan para pembina lainnya adalah sebagai berikut.
Ø Sebagai
pedoman dalam mengadakan fungsi supervisi, yaitu memperbaiki situasi belajar.
Ø Sebagai
pedoman dalam melaksanakan supervisi dalam menciptakan situasi untuk menunjang
situasi belajar anak ke arah yang lebih baik.
Ø Sebagai
pedoman dalam melaksanakan supervisi dalam membentuk bantuan kepada guru atau
pendidik agar dapat memperbaiki situasi mengajar.
Ø Sebagai
seorang administrator yang menjadikan kurikulum sebagai pedoman untuk
pengembngan kurikulum pada masa mendatang.
Ø Sebagai
pedoman untuk mengadakan evaluasi atas kemajuan belajar mengajar (Soetopo &
Soemanto, 1993: 19).
5. Fungsi Kurikulum bagi Orangtua
Bagi orangtua, kurikulum difungsikan
sebagai bentuk adanya partisipasi orangtua dalam membantu usaha sekolah dalam
memajukan putra-putrinya. Bantuan tersebut dapat berupa konsultasi langsung
dengan sekolah/guru mengenai masalah-masalah yang menyangku anak-anak mereka.
Bantuan berupa pemikiran, materi dari orangtua atau masyarakat anak dapat
melalui lembaga komite sekolah. Dengan membaca dan memahami kurikulum sekolah,
para orangtua dapat mengetahui pengalaman belajar yang diperlukan anak-anak
mereka sehingga partisipasi orangtua ini pun tidak kalah pentingnya dalam
menyukseskan proses belajar mengajar di sekolah.
Meskipun orangtua telah menyerahkan
anak-anak mereka kepada sekolah agar diajarkan ilmu pengetahuan dan dididik
menjadi orang yang bermnfaat bagi pribadinya, orangtua, keluarga, masyarakat,
bangsa, dan agama, namun tidak berarti tanggung jawab kesuksesan anaknya secara
total diserahkan kepada sekolah alias pendidik. Keberhasilan tersebut merupakan
hasil dari sistem kerja sama berdasarkan fungsi masing-masing, yaitu orangtua,
sekolah dan guru. Karenanya, pemahaman orangtua mengenai kurikulum tampaknya
menjadi hal yang mutlak.
6. Fungsi bagi Sekolah Tingkat di Atasnya
Fungsi kurikulum dalam hal ini dapat
dibagi menjadi dua. Pertama, pemeliharaan keseimbangan proses pendidikan.
Pemahaman kurikulum yang digunakan oleh sekolah pada tingkatan di atasnya dapat
melakukan penyesuaian di dalam kurikulumnya hal-hal berikut.
Ø Jika
sebagian kurikulum sekolah bersangkutan telah
diajarkan pada sekolah yang berada di bawahnya, sekolah dapat meninjau
kembali perlu tidaknya bagian tersebut diajarkan.
Ø Jika
keterampilan-keterampilan tertentu yang diperlukan dalam mempelajari
kurikulum suatu sekolah belum diajarkan
pada sekolah yang berada di bawahnya, sekolah dapat mempertimbangkan masuknya
program tentang keterampilan-keterampilan ini ke dalam kurikulumnya.
Kedua, penyiapan tenaga baru. Jika suatu
sekolah berfungsi menyiapkan tenaga pendidik bagi sekolah yang berada di
bawahnya, perlu sekali sekolah tersebut memahami kurikulum sekolah yang berada
di bawahnya itu. Pengetahuan tentang kurikulum sekolah yang berada di bawahnya
berkaitan dengan pengetahuan tentang isi, organisasi atau susunan, serta cara
pengajarannya. Dengan harapan, hal itu akan membantu sekolah dan pendidik dalam
melakukan revisi-revisi dan penyesuain kurikulum. Sebagai contoh, jika
pengajaran IPA di SD/MI menggunakan metode eksperimen, pelajaran tentang cara
pelaksanaan metode eksperimen hendaknya lebih diinterpretasikan di SMP/MTs;
jika pada kurikulum SD/MI telah diperkenalkan Matematika modern, pelajaran
mengenai Matematika di SMP/MTs hendaknya disesuaikan dengan pendekatan di SD/MI
dan seterusnya (Ibid, :20).
7. Fungsi bagi Masyarakat dan Pemakai Lulusan
Sekolah/Madrasah
Kurikulum suatu sekolah juga berfungsi
bagi masyarakat dan pihak pemakai lulusan sekolah yang bersangkutan (Ibid.: 21). Dengan mengetahui kurikulum
suatu sekolah, masyarakat sebagai pemakai lulusan, dapat melaksanakan
sekurang-kurangnya dua macam berikut.
Ø Ikut
memberikan kontribusi dalam memperlancar pelaksanaan program pendidikan yang
membutuhkan kerja sama dengan pihak orangtua dan masyarakat.
Ø Ikut
memberikan kritik dan saran konstruktif demi penyempurnaan program pendidikan
di sekolah, agar lebih serasi dengan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja.
Di
samping mempunyai fungsi di atas, kurikulum juga memiliki fungsi lain yang
memiliki pendekatan berbeda dengan sebelumnya. Berikut ini beberapa fungsi yang
dikemukakan Alexander Inglis dalam bukunya Principle
of Secondary Education (1981) (Hamalik 1990:9).
a. Fungsi Penyesuaian
Anak didik hidup dalam suatu lingkungan
sehingga ia dituntut untuk mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan
tersebut. Lingkungan senantiasa berubah, tidak statis, bersifat dinamis
sehingga anak didik diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi seperti
itu. Semuanya mesti disesuaikan dengan kondisi dan keadaan perorangan. Program
pendidikan harus diarahkan pada aspek kehidupan, sarana, dan usaha anak didik
dalam mengembangkan kehidupannya sebagai individu, anggota masyarakat atau
warga negara.
Muhammad Fadhil Al-jamali mengungkapkan
bahwa pendidikan yang dapat disarikan dari Al-Quran beorientasi:
1. Mengenalkan
individu akan perannya di antara sesama makhluk dengan tanggung jawabnya di
dalam hi hidup ini;
2. Mengenalkan
individu akan individu sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup
bermasyarakat;
3. Mengenalkan
individu akan alam ini dan mendorong mereka mengetahui hikmah diciptakannya
alam serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari
alam;
4. Menegakkan
individu akan pencipta alam ini (Allah) dan memerintahkan agar beribadah
kepada-Nya (Al-Jamali, 1986:3).
b. Fungsi Pengintegrasian
Dalam hal ini, orientasi dan fungsi
kurikulum adalah mendidik anak didik agar mempunyai pribadi yang integral.
Mengingat anak didik merupakan bagian integral dari masyarakat, pribadi yang
terintegrasi itu akan memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan atau
pengitegrasi masyarakat.
Implikasinya, anak didik menjadi bagian
integral dari masyarakat di mana pun ia berada. Kurikulum diharapkan mampu
memprsiapkan anak didik agar mampu mengintegrasikan diri dalam masyarakat
dengan pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan cara berpikir yang dimiliki
sehingga ia dapat berperan memberi kontribusi kepada masyarakat.
c. Fungsi Perbedaan
Kurikulum hendaknya dapat memberi
pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan perorangan dalam masyarakat. Pada
prinsipnya, perbedaan akan mendorong orang berpikir kritis dan kreatif, dan
akhirnya akan menggerakkan kemajuan sosial dalam masyarakat. Bukan berarti
dengan perbedaan tersebut solidaritas dan integrasi akan terabaikan, namun
adanya perbedaan bisa juga menghindari terjadinya stagnasi sosial.
Pada prinsipnya, potensi yang dimiliki
anak didik itu memang berbeda-beda, dan peran peran pendidikanlah
untukmengembangkan potensi-potensiyang ada itu secara wajar sehingga anak didik
dapat hidup dalam masyarakat yang senantiasa beraneka ragam namun satu tujuan
pembangunan tersebut. Berkaitan dengan diferensiasi pada anak didik tersebut,
Nabi Saw. Bersabda, ”Kami para Nabi
diperintahkan untuk menempatkan manusia sesuai dengan potensi akalnya” (HR
Abu Bakar bin Al-Syakir).
Barangkali dapat diinterpretasikan bahwa
pendidikan dan kurikulum pendidikan harus diorientasikan kepada pengembangan
potensi (yang beda-beda) dari anak didik. Dengan demikian perlakuan terhadap
mereka sepatutnya mempertimbangkan perbedaan kemampuan dan potensi
masing-masing.
Jadi, fungsi kurikulum sebagai pembeda
dapat memberikan pelayanan kepada anak didik sebagai anggota (calon anggota)
masyarakat sesuai dengan perbedaan-perbedaan yang dimilikinya, dengan tidak
mengabaikan solidaritas sosial masyarakat. Hal ini dapat dimulai dengan
memprogram kurikulum pendidikan yang relevan dan mengaplikasikan dalam proses belajar
mengajar yang mendorong anak didik (yang berbeda-beda tersebut) untuk berfikir
kreatif, kritis, dan berorientasi ke depan sehingga dapat berguna nantinya
dalam kehidupan masyarakat.
d. Fungsi Persiapan
Kurikulum berfungsi mempersiapkan anak
didik agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu jangkaun yang lebih
jauh, apakah anak didik melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi atau persiapan
untuk belajar di masyarakat seandainya ia tidak mungkin melanjutkan kejenjang
pendidikan yang lebih tinggi (Hamalik, 1990: 11). Bersiap untuk belajar lebih
lanjut tersebut sangat diperlukan, mengingat sekolah tidak mungkin memberikan
semua apa yang diperlukan anak didik, termasuk dalam pemenuhan minat mereka.
Keberadaan kurikulum untuk mempersiapkan
anak didik dalam memasuki dunia kerja juga menjadi perhatian para pengembang
kurikulum. Anak didik yang karena alasan tertentu memasuki duni kerja, membuat
kurikulum tidak menutup kemungkinanan memberikan pelayanan terhadap anak didik.
Kalau kita perhatiakn, kurikulum SMA/MA merupakan contoh konkret fungsi
persiapan. Kurikulum pada jenis ini pada prinsipnya didesain untuk memungkinkan
anak didik mencari kerja dengan modal pengetahuan (ijazah) SMA. Lain halnya
dengan kurikulum sekolah kejuruan, seperti STM yang memang sejak awal
kurikulumnya didesain untuk dapat bekerja, walaupun sangat memungkinkan untuk
melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dapat di simpulkan bahwa kurikulum
memiliki fungsi persiapan bagi anak didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan
lebih lanjut, namun dalam jenjang bidang, dan jenis sekolah tertentu sangat
memungkinkan kurikulumnya didesain untuk mempersiapkan anak didik memasuki
dunia kerja. Karenanya kurikulum mempunyai fungsi persiapan bagi anak didik.
e. Fungsi Pemilihan
Pada pembahasan sebelumnya telah
dijelaskan bahwa fungsi kurikulum adalah diferensiasi, yaitu memberikan
pelayanan kepada anak didik sesuai dengan perbedaan-perbedaan yang ada pada
dirinya. Antara keberadaan dan pemilihan merupakn dua hal yang erat sama sekali
hubunggannya. Pengakuan atas keberadaan mereka berarti ada keinginan untuk
memberikan kesempatan bagi anak didik dalam memilih apa yang diinginkan dan
menarik minatnya. Karenanya, dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut,
kurikulum perlu disusun secara luas dan bersifat fleksibel dan luwes. Selain
itu, kurikulum hendaknya dapat memberikan pilihan yang tepat sesuai dengan
minat dan kemampuan peserta anak didik (Ibid.:11).
f. Fungsi Diagnostik
Salah satu aspek pelayanan pendidikan
adalah membantu dan mengarahkan anak didik agar mampu memahami dan menerimanya
dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimilikinya. Ini semua
dapat dilakukan apabila mereka menyadari semua kelemahan dan kekuatan yang ada
pada diri mereka melalui eksplorasi dan prognosis sehingga mereka dapat
memperbaiki kelemahan tersebut dan mengembangkan fungsi kurikulum dalam
mendiagnosis dan membimbing anak didik agar berkembang secara optimal (Ibid.: 12).
Fungsi diagnosis adalah agar siswa dapat
mengadakan evaluasi kepada dirinya dan menyadari semua kelemahan dan kekuatan
diri sehingga dapat memperbaiki dan mengembangkannya sesuai dengan kemampuan
yanga ada, yang pada akhirnya dapat berkembang secara maksimal dalam masyarakat.
Hal ini relevan dengan fungsi pendidikan islam, yaitu menanamkan nilai-nilai
insani dan nilai-nilai ilahi pada peserta didik. Menurut Noeng Muhdjir (1987:
163), nilai budaya termasuk nilai insani , sedangkan nilai agama termasuk nilai
ilahi. Relasi anatara kedua nilai tersebut menjadi linier-koheren, yang ada
hubungan hierarkis dan etis yang menjadi rujukan dan pemandu semua nilai.
B.
Peranan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum
sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis, mengemban
peranan yang sangat penting bagi pendidikan. Apabila dianalisis secara
sederhana sifat dari masyarakat dan kebudayaan, tempat sekolah sebagai
institusi sosial melaksanakan operasinya, paling tidak dapat ditentukan tiga
jenis peranan kurikulum yang di nilai sangat pokok. Ketiga peran tersebut sama
pentingnya dan berkaitan serta dilaksanakan secara sinambung.
Pertama,
peranan konservatif. Kebudayaan sudah ada sebelum lahirnya suatu generasi dan
tidak akan pernah mati meski generasi yang bersangkutan sudah habis. Kebudayaan
diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah laku, bahkan kebudayaan
terwujud dan didirikan dari perilaku manusia. Kebudayaan mencakup aturan yang
berisi kewajiban dan tindakan-tindakan
yang diterima dan ditolak atau tindakan yang dilarang dan diizinkan.
Semua kebudayaan yang sudah membudaya harus ditransmisikan kepada anak didik
selaku generasi penerus. Oleh karena itu, semua ini menjadi tanggung jawab
kurikulum dalam menafsirkan dan mewariskan nilai-nilai budaya yang mengandung
makna membina perilaku anak didik. Sekolah sebagai lambang sosial sangat
berperan dalam mempengaruhi perilaku anak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang
ada dalam masyarakat. Jadi, kurikulum bertugas menyimpan adan mewariskan
nilai-nilai budaya (Wiryokusumo dan Mulyadi, 1988: 7).
Dengan
demikian,kurikulum bisa dikatakan konservatif karena mentransmisikan dan
menafsirkan warisan sosial kepada anak
didik atau generasi muda. Sekolah sebagai suatu lembaga sosial, sangat berperan
penting dalam memengaruhi dan membina tingkah laku anak sesuai dengan
nilai-nilai sosial yang ada di lingkungan masyarakat , sejalan dan selaras
dengan peranan pendidikan sebagai suatu proses sosial.
Kedua,
peranan kritis dan evaluatif. Kebudayaan senantiasa berubah dan bertambah
sejalan dengan perkembangan zaman yang terus berputar. Sekolah tidak hanya
mewariskan kebudayaan yang ada, tetapi juga menilai dan memilih unsur-unsur
kebudayaan yang akan diwariskan (Ibid.:
8).
Dalam
hal ini, kurikulum turut aktif berpartisiasi dalam kontrol sosial dan
menekankan pada unsur kritis. Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan
keadaan masa mendatang dihilangkan dan diadakan modifikasi serta dilakukan
perbaikan. Dengan demikian, kurikulum perlu mengadakan pilihan yang tepat atas
dasar kriteria tertentu.
Maksudnya,
kurikulum itu selain mewariskan dan mentransmisikan nilai-nilai kepada generasi
muda, juga sebagai alat untuk mengevaluasi kebudayaan yang ada. Apakah
nilai-nilai sosial yang ada atau dibawa itu sesuai atau tidak dengan
perkembangan yang akan datang serta apakah perlu diadakan perubahan atau tetap
seperti aslinya.
Ketiga,
peranan kreatif. Kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan kostruktif,
dalam arti menciptakan dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan
masa sekarang dan masa mendatang dalam masyarakat. Guna membantu setiap
individu dalam mengembangkan potensinya, kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman,
cara berpikir, berkemampuan dan berketerampilan baru sehingga memberikan
manfaat bagi masyarkat (Ibid.:8).
Untuk
itulah sekolah didirikan. Sekolah didirikan untuk membantu dan membimbing anak
didik tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sanggup menghadapi segala
masalah dalam hidupnya sesuai dengan tujuan dan cita-cita negara. Oleh sebab
itu, kurikulum membuat kegiatan-kegiatan yang sifatnya kreatif dan konstruktif
dalam rangka membantu anak didik mendapatkan materi pelajaran atau program pendidikan,
pengalaman, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu guna membantu anak didik dalam
mengembangkan potensi yang ada pada dirinya.
Ketiga
peran di atas harus dilaksanakan seacara seimbang sehingga tercipta
keharmonisan. Dengan demikian, kurikulum dapat memenuhi tuntutan waktu dan
keadaan untuk membantu peserta didik menuju kebudayaan yang akan datang
sehingga mereka menjadi generasi yang siap dan terampil dalam segala hal.
Implikasi
peranan di atas adalah bahwa pendidikan memiliki cita-cita untuk menciptakan
suatu masyarakat yang ideal, sesuai dengan nilai-nilai yang dianut bangsa dan
selaras dengan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum berupaya didesain agar
dapat mengembangkan sains dan teknologi dengan sehingga anak didik menjadi
sumber daya yang andal kehilangan identitas bangsanya.
PEMBUATAN
KEPUTUSAN
KURIKULUM
A. Sentralisasi Pengembangan Kurikulum
Apabila
ada kata desentralisasi, tentunya ada
kata sentralisasi. Desentralisasi
dalam pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan masalah pemberian
wewenang dalam pengembangan kurikulum (Subandijah, 1993: 199). Maksud
sentralisasi atau sistem pengembangan kurikulum secara sentral adalah
keterlibatan pemerintah pusat dalam mengembangkan kurikulum atau program
pendidikan yang akan mengembangkan kurikulum atau program pendidikan yang akan
diterapkan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, yang bertujuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang
No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sistem
sentralisasi pengembangan kurikulum tersebut mempunyai tujuan agar memperoleh
bentuk kurikulum inti yang wewenang penanganannya diserahkan kepada Menteri
Pendidikan Nasional. Pada tingkat propinsi (tingkat I), kewenangannya diberikan
kepada Kepala Kantor Departemen Pendidikan Nasional tingkat propinsi, dan pada
tingkat Kabupaten/Kota kewenangannya diserahkan kepada Kantor Departemen
Pendidikan Nasional (Diknas Kabupaten Kota), dan pada tingkat sekolah tingkat
wewenangnya diserahkan kepada kepala sekolah yang bersngkutan.
Hieraki
kewenangan dalam pengembangan kurikulum tersebut dikenal dengan nama model
pengembangan dari atas ke bawah (top down),
dan sebaliknya kadang-kadang terjadi pula (penyusunan dan pengembangan
kurikulum) dari bawah ke atas. Sama halnya dengan kurikulum, sistem
pengembangannya mementingkan pendekatan-pendekatan yang tepat. Apabila
pendidikan digunakan sebagai sarana mengembangkan semua komponen pembangunan,
pola pengembanagn pendidikan dan kurikulum secara sentralisasi dan desentralisasi
sangat perlu diaplikasikan.
B.
Desentralisasi Pengembangan Kurikulum
Desentralisasi
adalah bentuk organisasi yang menghubungkan otonomi organik dengan aspek-aspek
kelembagaan tertentu bagi daerah tertentu yang ditinjau dari aspek
administrasi. Berakaitan dengan makna desentralisasi tersebut, terdapat makna
administrasi yang bersifat desentralisasi sebagai wujud pertanggung jawab
terhadap siapa yang mempunyai wewenang mengoraganisasikan dalam mencapai
kecocokan dan kesesuaian komponen kelembagaan denagan cara menjaga keseimbangan
dan keharmonisan yang dinamis (Ibid.:201).
Prinsip
dasar desentralisasi adalah pendelegasian dari segala otoritas dan fungsi
terhadap semua level hierarkis tersebut. Dalam hubungan dengan desentralisasi
administratif, secara tradisional terdapat tiga bentuk, sebagaimana diungkapkan
oleh Husen (1985), yaitu by technical
service, by territorial function, dan by cooperation. Maksudnya,
desentralisasi administrasi kurikulum mempunyai makna yang berkaitan dengan
teknik-teknik pelayanan, fungsi teritorial, dan kerja sama.
Sebagaimana
telah dikemukakan di muka bahwa desentralisasi juga dapat dipahami dengan
sederhana, yaitu memiliki persoalan administrasi dan kewenangan (mengenai
kurikulum atau hal lainnya). Desentralisasi pengembangan kurikulum mempunyai
makna bahwa pengembangan kurikulum sekolah yang dihubungkan dengan potensi,
karateristik, dan kebutuhan pengembangan daerah dapat dimulai dari pemegang
kewenangan dan pengajaran (pengembangan kurikulum) yang bermula dari sekolah bersama
dengan guru.
Sistem
pendidikan di Indonesia masih menganut sistem sentralisasi. Maksudnya,
persoalan administrasi dan kewenangan itu segaris dengan pengembangan kurikulum
yang sudah terbentuk dalamkurikulum pendidikan nasional. Secara umum,
sentralisasi pengembangan kurikulum di Indonesia masih sangat dominan.
Ketetapan
suatu pola administratif dan pengembangan kurikulum di suatu negara sangat
bergantung pada kebijakan pemegang otoritas di sekolah atau lembaga yanag
bersangkutan. Hal ini akan lebih bermanfaat jika pola pendekatan administratif
secara desntralisasi diaplikasikan karena beberapa alasan berikut.
Ø Tingkat
demokratis yang lebih tinggi disenangi oleh partisipan (pelaksanaannya).
Ø Keputusan-keputusan
yang diadopsi dalam basis partisipasi lebih menginginkan konsensus yang lebih
besar.
Ø Keputusan-keputusan
dalam sistem desentralisasi memerlukan perhatian yang serius untuk kebutuhan
yang konkret.
Ø Partisipasi
mempromosikan proses kreativitas indidvidu untuk manfaat organisasi.
Ø Koherensi
organisasi yang bersifat internal disediakan jika koordinasi dan petunjuknya
benar; dan jika hubungan-hubungan atau saluran-saluran komunikasi yang efisien
diadakan.
Ø Biaya
personalia dan kertas kerja dapat ditekan sedemikian rupa dalam kantong-kantong
pusat.
Dari
uraian di atas, manfaat pengaplikasian pola desentralisasi dalam pengembangan
kurikulum dapat dimiliki dari berbagai komponen, yaitu partisipasi, legitimasi
(pengesahan keputusan), psikomotor (perkiraan), kreasi dan inovasi, serta
integrasi dan efisiensi.
Meskipun
demikian, berbagai aspek perlu dipertimbangkan sebelum sistem desentralisasi
kuirkulum diaplikasikan./ Aspek-aspek tersebut adalah karateristik khusus dari
sistem sosial, ekonomi, dan kekuatan ekonomi; tingkat evolusi dan kompleksitas
administrasi; perbedaan kesanggupan pemerintah daerah dalam memperoleh dana dan
juga pendistribusiaannya; kurangnya tenaga teknis; minimnya kontribusi untuk
pelaksanaan program dari piahak pemerintah dan non pemerintah; kondisi
geografis yang berbeda-beda coraknya memerlukan biaya yang besar; perbedaan
kualitas pendidikan didaerah tertentu dengan daerah lainnya; kondisi sosial
politik suatu negara (aman atau tidaknya).
Memerhatikan
aspek-aspek di atas secara teliti dan mendetail, akan memberikan insipirasi
kepada kita bahwa keberadaan sistem kurikulum desntralisasi sangat tergantung
pada berabagai kondisi. Jenis negara, misalnya, negara maju atau negara
berkembang; negara kepulauan atau negara berbentuk benua; GNP tinggi atau GNP
rendah; Kondisi sosial politik aman atau tidak; ada tidaknya atau sejauh mana
perbedaan kualitas pendidikan antardaerah; sumber dana; dan lain-lain. Itu
semua tentu menjadi pertimbangan utama dalam mengaplikasikan ide desentralisasi
ke dalam pengembangan kurikulum. Mungkin dengan mempertimbangkan alasan-alasan
seprti itulah pola administrasi kurikulum pendidikan di Indonesia masih banyak
memberi porsi yang lebih tinggi kepada aspek yang lebih tinggi kepada aspek
sentralisasi ketimbang desentralisasi.
Kurikulum
Pembuat
keputusan adalah mereka (individu-individu atau kelompok) yang disebabkan
status profesi atau posisinya dapat membuat keputusan-keputusan spesifik
mengenai kurikulum untuk di susun dan diimplementasikan dalam sekolah-sekolah
tertentu.
Barangkali
terdapat perbedaan antara pembuat keputusan kurikulum negara-negara maju dan
negara yang belum maju. Di negara maju, banyak pihak yang terlibat dalam
pembuatan keputusan. pendidik dan anak didik membuat keputusan-keputusan
mengenai bahan kurikulum spesifik yang berkaitan dengan kelas mereka
masing-masing. Kepala sekolah dapat melakukan/membuat keptusan-keputusan
kurikulumyang memengaruhi semua staf
pada sekolah tertentu. Berbagai direktur jenderal, direktur, dan
pengawassering membuat keptusan kurikulum yang memengaruhi aktivitas-aktivitas
dari ratusan dan bahkan ribuan sekolah serta ribuan pendidik dan anak.
Pembuatan
keputusan yang berhubungan dengan pengembangan kurikulum merupakan proses
kebijakan yang di dalamnya terdapat tanggung jawab berbagai pihak yang
berkepentingan dengan masalah pendidikan secara legal. Kadang juga ditemukan
sikap pro dan kontra , yaitu sikap menerima dan menolak terhadap hasilkeputusan
kurikulum. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan sudut pandang terhadap
hasil keputusan kurikulum dan fungsi sekolah.
1.
Tingkat
Pengambilan Keputusan Kurikulum
a. Pengambilan Keputusan di Tingkat Nasional
Pengambilan
keputusan di tingkat nasional ditangani oleh pemerintah pusat. Artinya,
kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh Menteri Pendidikan
Nasional atau menteri lain atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen
berdasarkan pelimpahan wewenang dari Menteri Pendidikan Nasional. Kemudian,
pelaksanaan keputusan kurikulum dilakukan oleh Dirjen tertentu, seperti Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen).
b. Pengambilan
Keputusan di Tingkat Provinsi
Pengambilan
keputusan di tingkat provinsi merupakan pengaplikasian keputusan kurikulum dari
pusat yang dilakukan oleh bidang tersebut pada Kantor Pendidikan Nasional
wilayah provinsi. Sebagai contoh, Sekolah Dasar dilaksanakan atau ditangani
oleh Kabid Pendidikan Dasar.
c. Pengambilan Keputusan di Tingkat Sekolah
Di
tingkat sekolah, pengambilan keputusan untuk penyelengaraan dan pelaksanaan
kurikulum dari pusat dilakukan oleh kepala sekolah tersebut.
d. Pengambilan Keputusan di Tingkat Kelas
Pengambilan
keputusan di tingkat kelas diberikan kepada guru kelas atau bidang studi yang
berwewenang melaksanakan kurikulum dari pusat. Dalam hal ini sampai ke dalam
bentuk keputusan yang paling kecil, yaitu dalam bentuk Satuan Pelajaran (SP).
2.
Tahapan
Pengembangan Kurikulum
Tingkat
atau tahapan dalam mengembangkan kurikulum suatu sekolah pada dasarnya
berorientasi pada tujuan. Pertama, tahap yang dikenal dengan nama pengembangan
program pada tingkat lembaga. Kedua, tahap pengembangan program bidang studi.
Ketiga, tahap pengembangan program di kelas, yang dilakukan oleh guru di kelas
pada suatu sekolah. Uraian berikut akan mengungkapkan ketiga tahapan
pengembangan kurikulum yang terjadi di Indonesia.
a. Pengembangan Kurikulum pada Tingkat Lembaga
Maksudnya,
pengembangan seluruh program kegiatan yang tertuang di dalam kurikulum
pendidikan tersebut. Pengembangan kurikulum tahap ini meliputi tiga pokok
kegaitan, yaitu (1) Perumusan tujuan institusioanl, (2) Penetapan isi dan
struktur program, (3) Penyusunan strategi pelaksanaan kurikulum secara
keseluruhan.
Penetapan
isi atau struktur program adalah menetukan bidang-bidang studi yang akan
diajarkan pada suatu lembaga pendidikan. Sedangkan penetapan struktur program,
merupakan penetapan atau penetuan jenis-jenis program pendidikan, sistem
semester/caturwulan, jumlah bidang studi, dan alokasi waktu yang diperlukan.
b. Pengembangan Program Tiap Bidang Studi
Ada
beberapa hal yang harus dilakukan dalam kegiatan pengembangan program pada tiap
bidang studi.
Ø Penetapan
pokok-pokok bahasan dan subpokok bahasan yang didasarkan atas tujuan
kelembagaan (institusional).
Ø Penyusunan
garis-garis besar program pengajaran (GBPP). Setelah selesai merumuskan tujuan
kurikuler, tujuan institusional, pokok bahasan, dan subpokok bahasan, semuanya
kemudian disusun secara beraturan menurut urutannya, serta menentukan kelas,
caturwulan, jumlah jam pelajaran, dan sumber buku (yang dipakai). Pada GBPP
tersebut disusun sub-sub bidang studi.
Ø Penyusunan
pedoman khusus pelaksanaan program pengajaran masing-masing bidang studi.
Pedoman khusus pelaksanaan pengajaran tersebut meliputi uraian tentang
pendekatan dan metode mengajar yang digunakan untuk bidang studi tertentu,
kemudian juga alat dan sarana yang diperlukan serta cara-cara penilaian hasil
belajar yang digunakan.
c. Pengembangan Program Pengajaran di Kelas
Pengembangan program pada tahap ini
merupakan tahpa kewenangan guru untuk mengembangkan program pengajaran di
kelas. Untuk mengembangkan program pengajaran di kelas, pendidik perlu memilki
lebih lanjut dalam bentuk Satuan Pelajaran (SP). Satuan pelajaran ini
dilaksanakan oleh para pendidik dalam rangka mengembangkan kegiatan program
pengajaran di kelas. Akan tetapi, apabila bahan pengajaran yanag dikembnagkan
GBPP sudah dikelompokkan menjadi satuan-satuan bahasan, pendidik tidak perlu
lagi menyusun atau menetukan suatu bahasan. Satuan bahasan itu langsung
dikembangkan menjadi satuan pelajaran (SP) untuk pedoman guru dalam melakukan
proses belajar menagjar di kelas.
DAFTAR
PUSTAKA
Idi,
Abdullah. 2011. Pengembangan
Kurikulum: Teori & Praktik.
Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA